Rabu, 10 November 2010

PENGARUH CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILTY DALAM LAPORAN TAHUNAN PERUSAHAAN TERHADAP REAKSI INVESTOR (STUDI KASUS PADA PERUSAHAAN PMDN DAN PMA)

PENGARUH CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILTY DALAM LAPORAN TAHUNAN PERUSAHAAN TERHADAP REAKSI INVESTOR (STUDI KASUS PADA PERUSAHAAN PMDN DAN PMA)

Osmad Muthaher


ABSTRACT

The objectives of this research are to examine the influence of Corporate Social responsibility (CSR) in company’s annual report to investor’s reaction. Samples of this research are local and foreign companies that listed in Indonesian Stock Exchange (BEI) acquired using purposive sampling method.
From data analysis known the result of research show that influence of Corporate Social responsibility (CSR) expression to reaction of investor is difference significant between local and foreign companies . And the empirical result show that Corporate Social responsibility (CSR) have no significant effect to reaction of investor.
Keywords: Social expression, financial statement, investor’s reaction


PENDAHULUAN

Dalam satu dekade terakhir, berbagai tekanan stakeholder internasional menunjukkan bahwa perusahaan public lebih besar perhatiannnya terhadap masalah sosial dan lingkungan dalam pengambilan keputusan ekonomi dan melaporkan atau mengungkapkan (disclosure) informasi kinerja sosial-lingkungannya dalam laporan keuangan (financial report) korporasi kepada publik makin meningkat
Sejumlah Negara Asia-Pasific juga menghendaki perlunya pertanggungjawaban public (public accountanbility) dari para manajer di kawasan Asia Pasific terhadap kinerja social lingkungan perusahaan (NETTLAP Publication 1997). Demikian pula tekanan-tekanan dari lembaga keuangan internasional agar pemerintah dan perusahaan publik memberikan perhatian lebih besar terhadap konsekuensi-konsekuensi sosial-lingkungan terhadap aktifitas bisnis mereka dan mengungkapkan informasi kinerja sosial-ekologis kepada publik semakin kuat dalam beberapa tahun terakhir.
Masalah sosial dan lingkungan yang disebabkan industri juga terjadi di Indonesia. Pemerintah Indonesia melakukan upaya dalam meningkatkan tanggung jawab lingkungan perusahaan melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang penanaman modal yang mengatur kewajiban penanam modal untuk melaksanakan tanggung jawab sosial lingkungan dan Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang perseroan yang mewajibkan laporan tanggung jawab sosial lingkungan perusahaan sebagai salah satu komponen laporan tahunan. Oleh karena itu, pengungkapan tanggung jawab sosial lingkungan oleh perusahaan tidak hanya sekedar sukarela seperti dalam PSAK No I (1998) paragraf 9, namun telah menjadi kebutuhan dan kewajiban bagi perusahaan.
Penyediaan informasi yang luas dalam laporan keuangan merupakan keharusan yang disebabkan adanya permintaan berbagai pihak yang berkepentingan dengan informasi tersebut. Permintaan atas informasi meningkat seiring dengan meningkatkan ketidakpastian yang dihadapi oleh pengambil keputusan, seberapa besar informasi tersebut dapat merevisi kepercayaan dan ketersediaan sumber lain selain laporan keuangan (Foster dalam Widiastuti,2000). Aspek pertanggungjawaban sosial bagi perusahaan (Corporate Social Responsibility) merupakan hal yang wajar dan logis sebagai konsekuensi kontrak sosial antara perusahaan dan masyarakat. Pengungkapan sosial dalam laporan keuangan perusahaan akan memberikan nilai tersendiri bagi perusahaan yang go public.
Meskipun tanggung jawab sosial perusahaan kini telah menjadi perhatian para akademisi dan praktisi di bidang akuntansi, namun hingga saat ini belum ada standar yang dapat dipakai sebagai pedoman untuk mengukur pertanggungjawaban sosial perusahaan dalam laporan tahunan (Murni, 2001). Namun demikian, dalam berbagai studi, banyak peneliti di bidang akuntansi sosial menggunakan luas pengungkapan sosial (extent of social disclosure)—yaitu seberapa banyak informasi sosial yang diungkapkan oleh perusahaan untuk mengukur besarnya tanggung jawab sosial perusahaan (Hadi, 2006).
Dalam beberapa riset yang pernah dilakukan sebelumnya, para peneliti akuntansi sosial menemukan adanya perbedaan luas pengungkapan sosial antara satu kelompok perusahaan dengan kelompok perusahaan yang lain. Hackston dan Milne (Hall, 2002) dan Utomo (2000) menemukan adanya perbedaan luas pengungkapan sosial yang signifikan antara kelompok perusahaan high profile dan kelompok perusahaan low profile. Sedangkan Lutfi meneliti pengaruh dan praktek pengungkapan sosial yang dilakukan oleh perusahaan terhadap perubahan saham. Hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan dari praktek pengungkapan sosial terhadap perubahan harga saham. Sementara itu, Parsa dan Ghaffari (2003) dan Adams et. al. (Utomo, 2000) menemukan bukti adanya perbedaan luas pengungkapan sosial antara kelompok perusahaan besar dan kelompok perusahaan kecil. Perbedaan luas pengungkapan sosial antar kelompok perusahaan yang ditemukan pada penelitian-penelitian tersebut menunjukkan adanya perbedaan tingkat kepedulian (tanggung jawab) sosial antara satu kelompok perusahaan dengan kelompok perusahaan lainnya.
Ditemukannya bukti mengenai adanya perbedaan luas pengungkapan sosial pada berbagai kelompok perusahaan dalam penelitian-penelitian akuntansi sosial terdahulu membuat penelititan ini tertarik untuk dilakukan investigasi terhadap pengungkapan sosial pada laporan tahunan yang dilakukan oleh dua kelompok perusahaan yang ada di Indonesia, yaitu Perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri dan Perusahaan Penanaman Modal Asing.
Perusahaan Penanaman Modal Asing (perusahaan yang lebih dari 25% sahamnya dimiliki oleh investor asing) diduga akan memiliki pengungkapan sosial yang lebih luas daripada Perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri. Kemungkinan ini disebabkan oleh masih rendahnya kesadaran perusahaan-perusahaan di Indonesia akan tanggung jawab mereka terhadap lingkungan sosial. Menurut Yudiani (Murni, 2001), di Indonesia, tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) belum membudaya jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Kurangnya kesadaran para pengusaha untuk memenuhi tanggung jawab sosialnya menyebabkan upaya perusahaan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan lingkungan sekitar masih relatif rendah. Banyak perusahaan yang beroperasi semata-mata untuk mengejar maksimalisasi laba tanpa menghiraukan dampak negatif yang timbul dari aktivitas perusahaan. Hal ini terbukti dari polusi, kebakaran hutan, kerusakan lingkungan, serta masalah-masalah yang berkaitan dengan karyawan dan masyarakat sekitar masih banyak terjadi.
Selain itu, di Indonesia, penggunaan laporan tahunan sebagai media komunikasi antara perusahaan dengan stakeholders juga masih jauh tertinggal dari negara-negara lain. Utomo (2000) mengemukakan bahwa selama ini, perusahaan-perusahaan di Indonesia membuat laporan tahunan hanya untuk keperluan para pemegang saham, sedangkan kepentingan stakeholders lain seperti karyawan, masyarakat dan konsumen cenderung terabaikan. Perusahaan Penanaman Modal Asing di Indonesia diduga memiliki pengungkapan sosial pada laporan tahunan yang lebih luas daripada perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri, karena investor asing di Indonesia pada umumnya membutuhkan serta menuntut informasi sosial yang luas. Pengungkapan informasi sosial pada laporan tahunan sangat dibutuhkan oleh para investor asing tersebut untuk membuat keputusan investasi. Hal ini disebabkan karena umumnya investor asing mau berinvestasi pada daerah yang aman, tidak banyak klaim (tuntutan) baik dari komunitas masyarakat sekitar, lembaga swadaya masyarakat (LSM) maupun pemerintah. Sehingga, investor asing dalam membuat keputusan investasi tidak hanya berdasarkan pada pertimbangan ekonomi dan keuangan, tetapi juga pada pertimbangan sosiologis. Selain melihat profit, mereka juga melihat tanggung jawab perusahaan pada stakeholders selain pemegang saham. Tanggung jawab tersebut antara lain mencakup perlindungan lingkungan, perlakuan terhadap karyawan, hubungan dengan pemerintah, serta kualitas dan inovasi produk (Rockness dan Williams dalam Belkaoui, 2000). Oleh karena itu, investor asing yang berinvestasi di Indonesia diduga akan lebih memilih untuk berinvestasi pada perusahaan yang memiliki pengungkapan sosial yang luas.

TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Tanggung Jawab Sosial Perusahaan / Corporate Sosial Resposibility
Tanggung jawab sosial diartikan oleh Ivan Sevic, dalam Rizal (2004), bahwa perusahaan mempunyai tanggung jawab pada tindakan yang mempengaruhi konsumen, masyarakat dan lingkungan. Sedangkan, pertanggungjawaban sosial perusahaan adalah mekanisme bagi suatu organisasi untuk secara sukarela mengintegrasikan perhatian terhadap lingkungan dan sosial ke dalam operasinya dan interaksinya dengan stakeholders, yang melebihi tanggung jawab organisasi di bidang hukum (Darwin, 2004 dalam Anggraini, 2006).
Dapat disimpulkan bahwa tanggung jawab sosial adalah suatu bentuk pertanggungjawaban yang dilakukan perusahaan atas dampak positif maupun negatif yang ditimbulkan dari aktivitas operasional yang berpengaruh terhadap masyarakat internal maupun eksternal seperti permasalahan buruh dan karyawan, konsumen, limbah pabrik, kepedulian terhadap masalah sosial dan keselerasan dengan masyarakat. Selain melakukan aktivitas operasional perusahaan yang berorientasi pada laba, perusahaan juga harus bertanggung jawab terhadap masalah sosial yang ditimbulkan oleh aktivitas operasional yang dilakukan perusahaan dengan manajemen lingkungan jadi tidak hanya terbatas pada kinerja keuangan perusahaan.
The Global Compact (2002) menyebut pemahaman ini dengan 3P (profit, people dan planet), yaitu sementara tujuan bisnis adalah mencari laba (profit), seharusnya juga menyejahterakan orang (people) dan menjamin keberlanjutan hidup planet ini (Nugroho, 2005). Hal tersebut menuntut perusahaan untuk melakukan manajemen lingkungan secara proaktif. Sebagai ukuran keberhasilan perusahaan dalam melaksanakan menejemen lingkungan proaktif, maka dapat dilakukan dengan mengidentifikasi kinerja lingkungan proaktif.
Hendriksen dan Breda (1995) mengelompokkan tanggung jawab perusahaan menjadi tiga level sebagai berikut :
1. Basic Responsibility ( BR ), pada level pertama menghubungkan tanggung jawab yang pertama dari suatu perusahaan yang muncul karena keberadaan perusahaan tersebut seperti perusahaan harus membayar pajak, memenuhi hukum, memenuhi standar pekerjaan, dan memuaskan pemegang saham.
2. Organization Responsibility ( OR ), pada level kedua ini menunjukkan tanggung jawab perusahaan untuk memenuhi perubahan kebutuhan stakeholder seperti pekerja, pemegang saham, dan masyarakat sekitar.
3. Sociental Responses ( RS ), pada level ketiga menunjukkan tahapan ketika interaksi antara bisnis dan kekuatan lain dalam masyarakat yang demikian kuat sehingga perusahaan dapat tumbuh dan berkembang secara berkesinambungan terlibat dengan apa yang terjadi dalam lingkungannya secara keseluruhan.

Konsep Pengungkapan / Disclosure
Menurut Chariri dan Ghozali (2001) disclosure memiliki arti tidak menutupi atau tidak menyembunyikan. Apabila dikaitkan dengan laporan keuangan disclosure berarti bahwa laporan keuangan harus memberikan informasi dan penjelasan yang cukup mengenai hasil aktivitas suatu unit usaha, informasi tersebut harus lengkap, jelas dan dapat menggambarkan secara tepat mengenai kejadian-kejadian ekonomi yang berpengaruh terhadap hasil operasi unit usaha tersebut.
Ada tiga konsep pengungkapan yang biasa diusulkan (Hendriksen dan Breda, 1995), yaitu :
1. Adequate disclosure ( pengungkapan yang cukup )
Pengungkapan ini adalah pengungkapan minimal yang dipersyaratkan oleh peraturan yang berlaku, dimana pada tingkat pengungkapan ini investor dapat menginterpretasi angka-angka dalam laporan keuangan yang benar.
2. Fair disclosure ( Pengungkapan yang fair )
Pengungkapan ini mengandung sasaran etis dengan menyediakan informasi yang layak terhadap pembaca (investor) potensial.
3. Full Disclosure ( Pengungkapan penuh )
Pengungkapan ini merupakan pengungkapan atas semua informasi yang relevan. Bagi beberapa pihak pengungkapan secara penuh diartikan sebagai penyajian informasi yang berlebihan sehingga tidak bisa disebut layak. Terlalu banyak informasi akan membahayakan karena penyajian rincian-rincian yang tidak penting bisa menyembunyikan informasi yang signifikan serta membuat laporan keuangan sukar ditafsirkan.
Dari ketiga konsep tersebut, adequate disclosure merupakan konsep yang paling umum digunakan. Darrough (1993) dalam Ekasari (2005) mengemukakan bahwa ada dua jenis pengungkapan dalam hubungannya dengan persyaratan dalam pasar modal, yaitu :
1. Mandatory disclosure (pengungkapan wajib) Merupakan pengungkapan informasi yang diharuskan oleh peraturan yang berlaku yang ditetapkan oleh Badan Pengawas Pasar Modal ( BAPEPAM ), misalnya laporan keuangan.
2. Voluntary disclosure ( pengungkapan sukarela ) Adalah pengungkapan yang melebihi dari yang diwajibkan dan bersifat sukarela, salah satunya adalah pengungkapan sosial lingkungan. Pengungkapan sukarela secara lebih luas dapat membantu investor dalam memahami strategi bisnis manajemen dan dapat meningkatkan kredibilitas perusahaan.
Hubungan keagenan merupakan suatu kontrak antara satu atau lebih orang (prinsipal) yang menghendaki orang lain (manajer) untuk melaksanakan jasa dengan cara mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada agen. Di dalam hubungan keagenan, terdapat 3 faktor yang mempengaruhi yaitu biaya pengawasan (monitoring costs), biaya kontrak (contracting costs), dan visibilitas politis (Jensen dan Meckling, 1976 dalam Anggraini, 2006). Banyak teori menjelaskan mengapa perusahaan cenderung untuk mengungkapkan informasi yang berkaitan dengan aktivitasnya dan dampak yang ditimbulkan oleh emiten tersebut, Gray et. al. (1995) dalam Utomo (2000) menyebutkan tiga studi, yaitu :
1. Decision Userfulnes Studies
Penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti menemukan bukti bahwa informasi sosial dibutuhkan oleh users, seperti analis, banker, dan pihak lain yang terlibat. Penelitian tersebut menyebutkan bahwa informasi aktivitas sosial perusahaan berada pada posisi moderately important.
2. Economic Theory Studies
Studi dalam corporate responsibility reporting ini mendasari pada economic agency theory dan accounting positivism theory yang menganalogikan manajemen sebagai agen dari suatu principal. Principal diartikan sebagai pemegang saham atau traditional users lain. Namun pengertian users tersebut telah berkembang menjadi seluruh interest group perusahaan yang bersangkutan. Sebagai agen, manajemen akan berupaya mengoperasikan perusahaan sesuai dengan keinginan publik (stakeholder)
3. Social and Political Theory Studies
Bidang ini menggunakan teori stakeholder, teori legitimasi organisasi dan teori ekonomi public. Teori stakeholder mengasumsikan bahwa perusahaan berusaha mencari pembenaran dari para stakeholder dalam menjalankan operasi perusahaannya. Semakin kuat posisi stakeholder, semakin besar kecenderungan perusahaan mengadaptasi diri terhadap keinginan stakeholdernya. Donovan dan Gibson (2000) dalam Sembiring (2005), menyatakan bahwa berdasarkan teori legitimasi, ketika perusahaan memiliki tingkat laba yang tinggi, perusahaan (manajemen) menganggap tidak perlu melaporkan hal-hal yang dapat mengganggu informasi tentang sukses keuangan perusahaan. Sebaliknya, pada saat tingkat profitabilitas rendah, mereka berharap para pengguna laporan akan membaca “good news” kinerja perusahaan, misalnya dalam lingkup sosial, dan dengan demikian investor akan tetap berinvestasi di perusahaan tersebut.
Dari penjelasan ketiga teori di atas, dapat disimpulkan bahwa teori yang tepat digunakan sebagai dasar dalam pengungkapan sosial lingkungan adalah Social and Political Theory Studies, khususnya teori stakeholder dan teori legitimasi. Yang melandasi teori legitimasi adalah “kontrak sosial” yang terjadi antara perusahaan dengan masyarakat dimana perusahaan beoperasi dan menggunakan sumber ekonomi Chariri dan Ghozali (2007). Sehubungan pengungkapan sosial lingkungan dengan teori stakeholder Gray et. al (1994) dalam Chariri dan Ghozali (2007) menyatakan bahwa pengungkapan sosial dianggap sebagai bagian dari dialog antara perusahaan dengan stakeholdernya.

Konsep Pengungkapan Sosial Lingkungan / Social Environmental Disclosure
Dalam Sembiring (2005), pengungkapan tanggung jawab sosial lingkungan perusahaan sering juga disebut sebagai social disclosure, corporate sosial reporting, sosial accounting (Mathews, 1995) atau corporate sosial responsibility (Hackston dan Milne, 1996). Merupakan proses pengkomunikasian dampak sosial dan lingkungan dari kegiatan ekonomi organisasi terhadap kelompok khusus yang berkepentingan dan terhadap masyarakat secara keseluruhan. Melalui pengungkapan sosial lingkungan, perusahaan dapat mengomunikasikan aktivitas sosialnya serta memperoleh legitimasi dari para stakeholdernya.
ACCA (2004) dalam Anggraini (2006), menyebutnya dengan Sustainability Reporting, yaitu pelaporan mengenai kebijakan ekonomi, lingkungan dan sosial, pengaruh dan kinerja organisasi dan produknya di dalam konteks pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang dapat untuk mengukur kinerja lingkungan proaktif. Sustainability Reporting meliputi pelaporan mengenai ekonomi, lingkungan dan pengaruh sosial terhadap kinerja organisasi. Dalam penelitian ini disebut sebagai pengungkapan sosial lingkungan.
Kesepakatan final tentang pengukuran kinerja dan standar pengungkapan sosial lingkungan belum ada. Hal ini disebabkan perkembangan praktik pengungkapan sosial lingkungan masih dalam tahap embrio jika dibandingkan perkembangan praktik pelaporan keuangan (Deegan, 2002 dalam Chariri dan Ghozali, 2007). Hackstone dan Milne (1996) dalam Sembiring (2005) mengklasifikasian pengungkapan sosial lingkungan sesuai dengan pengelompokkan tujuh tema aktivitas sosial lingkungan, yaitu mencakup lingkungan, energi, kesehatan dan keselamatan tenaga kerja, lain-lain tenaga kerja, produk, keterlibatan masyarakat dan umum.
Menurut Gray et. al., (1995) dalam Sembiring (2005), ada dua pendekatan yang secara signifikan berbeda dalam melakukan penelitian tentang pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Pertama, pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan mungkin diperlakukan sebagai suatu suplemen dari aktivitas akuntansi konvensional. Pendekatan ini secara umum menganggap masyarakat keuangan sebagai pemakai utama pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan dan cenderung membatasi persepsi tentang tanggung jawab sosial yang dilaporkan. Pendekatan alternatif kedua dengan meletakkan pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan pada suatu pengujian peran informasi dalam hubungan masyarakat dan organisasi.

Latar Belakang Pertanggungjawaban Sosial Perusahaan
Pengungkapan sosial yang sekarang ini banyak dilakukan oleh perusahaan terutama perusahaan yang go public tidak muncul sendirinya, melainkan suatu proses yang cukup panjang. Operasi perusahaan yang hanya mementingkan keinginan pemegang saham dan mengkonsentrasikan diri pada produksi yang tujuannya adalah untuk memaksimalkan keuntungan menyebabkan terjadi kesenjangan antara perusahaan dengan masyarakat, sehingga melahirkan banyak tuntutan dari masyarakat.

Pengungkapan dan Pelaporan Akuntansi Pertanggunjawaban Sosial
Pengungkapan dan pelaporan pertanggungjawaban sosial perusahaan merupakan masalah yang timbul terutama dalam kaitannya dengan hal-hal yang tidak dapat diukur dengan menggunakan bentuk pengukuran yang telah digunakan dalam akuntansi.
Hasil telaah literatur mengindikasikan sejumlah masalah komplek yang mengakibatkan IASC (International Accounting Standard Committee) belum dapat menerbitkan standar akuntansi sosiallingkungan, meskipun desakan dari berbagai kelompok investor, organisasi profesi akuntansi, lembaga-lembaga keuangan internasional, pemimpin bisnis dan sejumlah negara semakin kuat.
Menurut Andreas Leko (2003), perlakuan akuntansi terhadap cost sosial lingkungan adalah sebagai investasi sosial-lingkungan. Alasannya adalah karena sumber-sumber ekonomik perusahaan dilakukan ecara berkelanjutan untuk memeperdayakan dan memperbaiki kualitas masyarakat dan lingkungan akan memberikan goodwill dan economic benefit dalam bentuk peningkatan kinerja keuangan perusahaan dalam jangka panjang. Selain itu, bila ditelaah dari ketentuan IASC (International Accounting Standard Committee) mengenai Recognation of Asset (IASC 1999) yang menyatakan suatu aset akan diakui dalam neraca apabila aset tersebut besar kemungkinan (probable) manfaat ekonomik masa depan dari aset tersebut akan mengalir ke perusahaan dan aset tersebut memiliki cost atau value yang dapat diukur secara reliabel, maka pengorbanan sumber-sumber ekonomik kos sosial-lingkungan memenuhi kriteria untuk diakui sebagai asset dalam elemen laporan keuangan. Alasanya, karena pengorbanan tersebut memiliki future economic benefit yang akan diperoleh atau mengalir ke perusahaan dan item tersebut memiliki kos atau value yang dapat diukur melalui pendekatan pengukuran akuntansi. Karena itu, kos investasi sosial-lingkungan tersebut harus dilaporkan dalam neraca dalam kelompok aktiva tak berwujud (intangible asset). Ini berarti, nilai investasi sosial-lingkungan harus diamortisasikan ke periode-periode berikutnya sesuai dengan umur ekonomisnya.
Mengenai pelaporan dan pengungkapannya dapat dilakukan secara integral dengan item-item pelaporan keuangan lainnya. Namun bila hal tersebut kurang memberikan value-added informasi yang signifikan kepada stakeholder,maka pelaporan dan pengungkapan dilakukan secara terpisah dari laporan keuangan. Saudagaran (2001) menyarankan tiga tipe disclosure sosial dan lingkungan, yaitu :
1)environmental disclosure, 2)employee disclosure,3)value added statement. Menurut Saudagaran (2001) ketiga pengungkapan tersebut dapat mempengaruhi pengambilan keputusan para investor.

Kecenderungan Pengungkapan Sosial
Desakan dunia internasional agar manajemen perusahaan memberikan perhatian yang lebih besar terhadap konsekuensi-konsekuensi sosial-lingkungan dalam proses pengambilan keputusan bisnis telah muncul sejak dekade 1960-an. Tekanan-tekanan tersebut mendorong munculnya sejumlah usulan yang bertujuan untuk mengembangakan dan mengaplikasian metode-metode pengukuran dan penilaian akuntansi, dan pengendalian kinerja sosial-lingkungan perusahaan yang lebih baik dengan memperhatikan masalah-masalah yang menjadi perhatian publik seperti proteksi lingkungan, diskriminasi rasial dan seksual, dan kebijakan konsumen (Ramanathan 1976; spincer 1978; dan Belkauoi 1981).
Salah satu usulan yang diajukan adalah bahwa profesi akuntansi perlu pengembangan kapasitas akuntansi (accounting capacity) yaitu teori-teori, kriteria dan metologi untuk mengukur dan melaporkan semua beberapa aspek kinerja sosial perusahaan (Beams dan Fertig 1971, Bruemmet 1973, Bedford 1973, Spicer 1978 dan Belkauoi 1981). Tujuanya adalah agar perusahan-perusahaan dapat mengungkapkan lebih banyak informasi yang berkenaan dengan masalah-masalah kinerja sosial-ekologis mereka kepada publik. American Accounting Assocation (AAA) selama 1970-1975 telah
berusaha mengembangkan filosofi pengungkapan dan ekspansi akuntansi yang signifikan untuk masalah-masalah yang meliputi:
1. Implikasi pengungkapan untuk para pembuat keputusan.
2. Isi laporan keuangan.
3. Laporan dan pengungkapan lainnya.
4. Sifat-sifat dari peristiwa dan fenomena yang di ukur.
5. Teknik-teknik yang legitimate yang digunakan dalam pengukuran.
6. Kos informasi untuk para pembuat keputusan
(AAA 1971,1972,1973,1974,dan 1975)

Pengembangan Hipotesis
Sesuai dengan UU No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia dikelompokkan menjadi dua, yaitu: Perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri (perusahaan yang memiliki proporsi kepemilikan asing sebesar 25% atau kurang), dan Perusahaan Penanaman Modal Asing (perusahaan yang mempunyai proporsi kepemilikan asing lebih dari 25%). Perusahaan-Perusahaan Penanaman Modal Asing di Indonesia kemungkinan akan memiliki strategi perusahaan (corporate strategy) yang berbeda dari perusahaan-Perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri. Belkaoui dan Karpik dalam Hadi (2006) menyatakan bahwa perbedaan corporate strategy dapat menyebabkan perbedaan dalam social disclosure. Sehingga, karena adanya perbedaan corporate strategy tersebut, pengungkapan antara Perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri dan Perusahaan Penanaman Modal Asing kemungkinan akan berbeda pula. Perusahaan Penanaman Modal Asing diduga akan melakukan pengungkapan lebih banyak daripada Perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri. Pemikiran ini didasarkan pada asumsi bahwa Perusahaan Penanaman Modal Asing memiliki corporate strategy yang lebih baik bila dibandingkan dengan Perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri, yaitu dengan menjadikan pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) sebagai elemen kunci dari strategi mereka. Strategi ini digunakan dengan tujuan supaya perusahaan dapat diterima oleh lingkungan sekitar dimana perusahaan berada. Dengan pelaksanaan corporate social responsibility ini pada akhirnya perusahaan akan mendapatkan keunggulan kompetitif.
Hasil penelitian-penelitian akuntansi sosial sebelumnya serta argumen-argumen yang telah dikemukakan di atas mendasari dugaan penulis mengenai adanya perbedaan luas pengungkapan sosial yang signifikan antara Perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri dan Perusahaan Penanaman Modal Asing. Maka berdasarkan seluruh penjelasan di atas, penulis merumuskan hipotesis (hipotesis aternatif) sebagai berikut:
H1 : Terdapat perbedaan yang signifikan dalam luas pengungkapan sosial pada laporan tahunan antara Perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri dan Perusahaan Penanaman Modal Asing.
Tujuan pengungkapan menurut Securities Exchange Commision (SEC) dikategorikan menjadi dua yaitu: 1) Propective disclosure yang dimaksudkan sebagai upaya perlindungan terhadap investor, dan 2) informative disclosure, yang bertujuan memberikan informasi yang layak kepada pengguna laporan (Wolk, Francis, Dan Tearay dalam Utomo, 2000).
Alasan utama mengapa suatu pengungkapan diperlukan adalah agar pihak investor dapat melakukan suatu informed decision dalam pengambilan keputusan investasi. Berkaitan dengan keputusan investasi, investor memerlukan tambahan inforamasi yang tidak hanya informasi tambahan tapi informasi non keuangan. Kebutuhan itu didorong oleh adanya perubahan manajerial yang menyebabkan terjadinya perluasan kebutuhan investor akan informasi baru yang mampu menginformasikan hal-hal yang bersifat kualitatif yang berkaitan dengan perusahaan. Informasi kualitatif dipandang memiliki nilai informasi yang mampu menjelaskan fenomena yang terjadi, bagaimana fenomena tersebut dapat terjadi, dan tindakan apa yang akan diambil oleh manajemen terhadap fenomena tersebut.
H2 : Terdapat pengaruh yang signifikan dalam luas pengungkapan sosial pada laporan tahunan dengan reaksi investor (volume perdagangan diluar normal).

Metode Penelitian

Populasi dan Sampel
Populasi yang dipergunakan adalah perusahaan-perusahaan go public di PT Bursa Efek Indonesia (BEI). Perusahaan-yang terdaftar di BEI memperoleh perhatian publik yang lebih besar, sehingga perusahaan-perusahaan tersebut mendapatkan tekanan yang lebih besar pula untuk melakukan social disclosure sebagai wujud pertanggungjawaban sosial mereka.
Pemilihan sampel dilakukan dengan cara purposive sampling dengan kriteria:
1. Perusahaan yang masuk dalam tipe PMA dan PMDN.
tersebut diperoleh 26 perusahaan yang tergolong dalam high profile companies.

Definisi Operasional Variabel

Definisi operasional variabel yang digunakan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

1) Pengungkapan sosial (Variabel X)
Pengungkapan sosial perusahaan diukur dengan metode content analysis, yaitu dengan pengkodifikasian teks dari ciri-ciri yang sama untuk ditulis dalam berbagai kelompok (kategori) tergantung pada kriteria yang ditentukan. Pengklasifikasian kategori sesuai dengan pengelompokkan tujuh tema aktivitas sosial lingkungan, yaitu mencakup lingkungan, energi, kesehatan dan keselamatan tenaga kerja, lain- lain tenaga kerja, produk, keterlibatan masyarakat dan umum (Hackstone dan Milne, 1996 dalam Sembiring, 2005). Item-item pengklasifikasian tersebut disesuaikan dengan peraturan Bapepam No. VIII.G.2 tentang laporan tahunan dan pengaplikasian di Indonesia (Sembiring, 2005). Item-item pengungkapan sosial lingkungan tersebut dapat di lihat di lampiran 1.
Indek pengungkapan sosial merupakan pengungkapan relatif setiap perusahaan sample atas pengungkapan yang dilakukannya, yaitu rasio total skor yang diberikan kepada sebuah perusahaan dengan skor yang diharapkan dapat diperoleh oleh perusahaan tersebut. Dalam menentukan indek ini dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Dalam menentukan skor pengungkapan bersifat dikotomi, dimana sebuah item pengungkapan diberi skor satu jika diungkapkan dan tidak diberi skor jika tidak diungkapkan.
b. Menggunakan model pengungkapan yang tidak diberi bobot sehingga memperlakukan semua item pengungkapan secara sama.
c. Luas pengungkapan relatif setiap perusahaan diukur dengan indek, yaitu rasio total skor yang diberikan kepada sebuah perusahaan dengan skor yang diharapkan dapat diperoleh oleh perusahaan tersebut.

2) Volume Perdagangan Saham (variabel Y).
Dalam penelitian ini reaksi investor dicerminkan dengan volume perdagangan saham dan terlihat dengan adanya volume saham diluar normal. Sehingga ada tidaknya reaksi investor diseputar publikasi laporan tahunan perusahaan bisa diketahui dari volume saham diluar normal. Volume perdagangan normal yang merupakan volume penyesuaian pasar dapat dihitung dengan rumus sebagi berikut: (Bandi dan Jogianto Hartono,2000:209)

Vat = Psit - PSmt
Ket :
Vat = Volume perdagangan diluar normal
Psit = Presentase saham perusahan i yang diperdagangkan pada periode t
PSmt = Presentase saham yang diperdagangkan dikeseluruhan pada periode t untuk presentase saham perusahaan I yang diperdagangkan pada periode t
(Psit) dapat dihitung sebagai berikut :
PSit = SBmt
Sit
PSit = Presentase saham yang diperdagangkan dipasar keseluruhan.
Sit = Saham perusahan I diperdagangkan dipasar periode t
SBmt = Jumlah saham I yang beredar pada periode t
Sedangkan pesentase saham yang diperdagangakan secara keseluruhan di pasar
PSmt dapat dihitung sebagai berikut :


PSmt = Smt

SBmt

Ket :
PSmt = Pesentase saham yang diperdagangkan di pasar keseluruhan.
Smt = Jumlah saham yang diperdagangkan di pasar keseluruhan pada periode t.
SBmt = Jumlah saham yang beredar di pasar keseluruhan pada periode t.
Adapun periode pengamatan untuk mengitung indeks Unexpected Trading Volume setiap perusahaan sampel akan diakumulasikan selama 11 hari yaitu : hari -5 sampai dengan hari +5 tanggal publikasi laporan tahunan.
Dalam penelitian ini, yang dikategorikan sebagai Perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri adalah perusahaan yang 25% atau kurang sahamnya dimiliki oleh investor asing. Sedangkan yang termasuk kelompok Perusahaan Penanaman Modal Asing adalah perusahaan yang lebih dari 25% dari total ekuitasnya dimiliki oleh investor asing. Pengelompokan ini dilakukan berdasarkan klasifikasi perusahaan menurut ketentuan dalam UU No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri.
Pengujian Hipotesis
Apabila data berdistribusi normal (memiliki nilai probabilitas lebih dari 0,05) maka akan dilakukan pengujian statistik parametrik, yaitu dengan menggunakan Independent-Samples T Test, sedangkan bila data tidak berdistribusi normal (memiliki nilai probabilitas kurang dari 0,05) maka akan dilakukan pengujian statistik non parametrik, yaitu dengan uji dua sampel bebas Mann-Whitney Test.
Apabila pengujian statistik dilakukan dengan menggunakan Independent-Samples T Test, maka akan melewati dua tahapan analisis. Tahap pertama adalah menguji apakah t-test dilakukan dengan asumsi varians yang sama atau tidak. Pengujian ini dilakukan dengan Levene’s Test. Jika angka probabilitas (significance value) Levene’s Test lebih besar dari 0,05 maka t-test akan dilakukan dengan asumsi varians sama (equal variances assumed), sedangkan jika nilainya lebih kecil dari 0,05 maka t-test dilakukan dengan asumsi varians tidak sama (equal variances not assumed). Tahapan yang kedua adalah mengambil keputusan berdasarkan hasil t-test dan berdasarkan hasil analisis tahap pertama. Apabila angka probabilitas (significance value) dari hasil t-test menunjukkan nilai yang lebih besar dari 0,05 berarti hipotesis dalam penelitian ini (hipotesis alternatif) tidak dapat diterima, sedangkan jika angka probabilitas lebih kecil dari 0,05 maka hipotesis diterima.
Sedangkan apabila pengujian statistik dilakukan dengan Mann-Whitney Test, hipotesis akan diterima jika nilai probabilitas kurang dari 0,05 dan hipotesis tidak dapat diterima bila nilai probabilitas lebih besar dari 0,05.

HASIL PENELITIAN

Pengungkapan Sosial
Dari hasil pengamatan atas laporan tahunan 38 perusahaan sampel yang listing di BEI dalam hal pengungkapan sosial, menunjukkan bahwa hampir semua perusahaan sampel tersebut mengungkapkannya. Akan tetapi cara pengungkapan sosial masing-masing perusahaan tersebut berbeda-beda. Hal tersebut mungkin masih belum ada pedoman khusus dalam pelaporan dan mengungkapkan (Lako, 2003:52-57), tetapi yang ada hal yang perlu dicatat yaitu hamper semua perusahaan sampel berupaya menampilkan pengungkapan-pengungkapan sosial dalam laporan tahunanya .
Berdasarkan Tabel 1 terungkap bahwa Astra International Tbk mengungkapkan sebanyak 73% dari 34 item pengungkapan, dan kemudian Petrosea Tbk sebesar 70% dan Jaya Real Property Tbk 50%. Dan yang paling sedikit melakukan pengungkapkan adalah Bentoel International Investama Tbk dan Indonesia Air Transport Tbk sebesar 8%.
Tema-tema yang paling banyak diungkapkan oleh perusahaan sampel adalah pada tema ketenagakerjaan pada item gaji dan upah, sebanyak 38 perusahaan sampel. Ini menunjukkan adanya keseragaman dalam mengungkapkan item gaji dan upah yang tidak terlepas dari upaya perusahaan untuk melaksanakan ketentuan pemerintah dalam hal UMR. Pada tema produk dan konsumen, pada item mutu produk semua perusahaan sampel (38 perusahaan) mengungkapkannya sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa perusahaan-perusahaan sangat memperhatikan produk yang mereka pasarkan hal ini tidak terlepas dari tanggung jawab perusahaan terhadap konsumen. Item penghargaan kwalitas (sertifikat kwalitas, sertifikasi halal, penghargaan) masih pada tema produk dan konsumen perusahaan yang mengungkapkanya terdapat 37 perusahaan dan hanya satu perusahan yang tidak mengungkapkanya yaitu PT. Untuk item cuti karyawan (cuti hamil dan cuti haid) pada tema ketenagakerjaan semua perusahaan sampel tidak mengungkapkannya.


Tabel 1.
Daftar Pengungkapan Sosial yang dilakukan Perusahaan Sampel

No Kode Emiten Total Total Indeks
Pengungkapan Pengungkapan Pengungkapan
yang diungkap Penuh Sosial
(78)
1 APOL
Arpeni Pratama Ocean Line Tbk 34 78 0.4359
2 ASBI
Asuransi Bintang Tbk 33 78 0.4231
3 ASII
Astra International Tbk 57 78 0.7308
4 BABP
Bank Bumiputera Indonesia Tbk 29 78 0.3718
5 BCIC
Bank Century Tbk 23 78 0.2949
6 BEKS
Bank Eksekutif Internasional Tbk 16 78 0.2051
7 BLTA
Berlian Laju Tanker Tbk 37 78 0.4744
8 BMTR
Global Mediacom (d/h Bimantara Citra) Tbk 27 78 0.3462
9 BNGA
Bank Niaga Tbk 34 78 0.4359
10 BNLI
Bank Permata Tbk 37 78 0.4744
11 DILD
Intiland Development (d/h Dharmala Intiland) Tbk 39 78 0.5000
12 FREN
Mobile-8 Telecom Tbk 28 78 0.3590
13 GGRM
Gudang Garam Tbk 34 78 0.4359
14 IATA
Indonesia Air Transport Tbk 7 78 0.0897
15 IATG
Infoasia Teknologi Global Tbk 14 78 0.1795
16 INDX
Indoexchange Tbk 26 78 0.3333
17 JRPT
Jaya Real Property Tbk 45 78 0.5769
18 JTPE
Jasuindo Tiga Perkasa Tbk 21 78 0.2692
19 LPBN
Bank Lippo Tbk 30 78 0.3846
20 LPLI
Lippo E-Net Tbk 18 78 0.2308
21 MEGA
Bank Mega Tbk 31 78 0.3974
22 MNCN
Media Nusantara Citra Tbk 29 78 0.3718
23 MTFN
Capitalinc Investment (d/h Global Financindo) Tbk 12 78 0.1538
24 NISP
Bank NISP Tbk 28 78 0.3590
25 OMRE
Indonesia Prima Property Tbk 30 78 0.3846
26 PANS
Panin Sekuritas Tbk 27 78 0.3462
27 PEGE
Panca Global Securities Tbk 23 78 0.2949
28 PTRO
Petrosea Tbk 55 78 0.7051
29 RAJA
Rukun Raharja Tbk 15 78 0.1923
30 RELI
Reliance Securities Tbk 26 78 0.3333
31 RMBA
Bentoel International Investama Tbk 7 78 0.0897
32 SONA
Sona Topas Tourism Industry Tbk 19 78 0.2436
33 SUGI
Sugi Samapersada Tbk 11 78 0.1410
34 TGKA
Tigaraksa Satria Tbk 17 78 0.2179
35 TMPO
Tempo Inti Media Tbk 29 78 0.3718
36 TURI
Tunas Ridean Tbk 23 78 0.2949
37 WAPO
Wahana Phonix Mandiri Tbk 33 78 0.4231
38 YULE
Yulie Sekurindo Tbk 16 78 0.2051

Variabel volume perdagangan saham yang diukur dengan nilai abnormal Trading Volume Activity yang terjadi di seputar annual report yang mencakup pengungkapan sosial. Nilai rata-rata abnormal volume diperoleh perusahaan sampel adalah sebesar -0,0008. Dengan rata-rata abnormal volume negatif menunjukkan bahwa secara rata-rata investor bereaksi negatif atas informasi pengungkapan sosial yang dilakukan oleh perusahaan. Nilai terendah adalah sebesar -0,0021 dan nilai tertingi adalah 0,0225.
Untuk variabel yang dinyatakan dengan variabel dummy yaitu status perusahaan diperoleh hasil sebagai berikut :
Tabel 2
Pengelompokan perusahaan berdasarkan status perusahaan

Status perusahaan Jumlah Persentase
PMA
PMDN 16
22 42,1
57,9
38 100,0
Sumber : Data sekunder yang diolah

Kelompok perusahaan yang tergabung dalam perusahaan domestik (PMDN) memiliki jumlah yang lebih besar dibanding perusahaan asing yaitu 57,9% perusahaan domestik dan 42,1% perusahaan asing (PMA).

Pengujian Hipotesis 1
Hipotesis 1 bertujuan untuk menguji perbedaan besarnya pengungkapan sosial pada perusahaan PMDN dan perusahaan PMA. Hipotesis 1 diuji dengan menggunakan independent sample t test. Hasil pengujian diperoleh sebagai berikut :
Tabel 3


Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa rata-rata indeks pengungkapan sosisl (CSR) pada perusahaan PMA diperoleh sebesar 0,3990 atau 39,90% sedangkan pengungkapan pada perusahaan PMDN diperoleh rata-rata sebesar 0,3042 atau 30,43%. Hal ini mengindikasikan bahwa perusahaan PMA melakukan pengungkapan sosial yang lebih banyak dibanding perusahaan PMDN.
Hasil pengujian hipotesis 1 tentang perbedaan pengungkapan sosial berdasarkan Tabel 4 dengan uji t diperoleh nilai t sebesar 2,065 dengan signifikansi sebesar 0,046 yang lebih kecil dari 0,05. Hasil ini mengindikasikan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan dari pengungkapan sosial yang dilakukan oleh perusahaan PMA dan perusahaan PMDN. Hal ini berarti Hipotesis 1 diterima.

Tabel 4


Sedangkan hasil pengujian hipotesis 2 berdasarkan Tabel 5 menunjukkan bahwa Dari hasil estimasi variabel CSR nilai t sebesar -0,041 dengan probabilitas sebesar 0,968 > 0,05. Nilai signifikansi yang lebih besar dari 0,05 menunjukkan bahwa CSR tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap volume perdagangan saham. Hal ini berarti bahwa Hipotesis 2 ditolak.
Tabel 5


Pengungkapan sosial merupakan bagian dari pengungkapan sukarela pada laporan keuangan tahunan. Pada perusahaan yang terdaftar di BEI, tidak semua perusahaan memberikan pengungkapan sukarela. Selain itu dalam pengungkapan sukarela tidak selalu memuat mengenai pengungkapan sosial.
Pengungkapan sosial terkait dengan aktivitas-aktivitas sosial yang dilakukan perusahaan yang secara langsung terkait dengan pengeluaan dana yang dilakukan oleh perusahaan yang akan mengubah posisi aktiva perusahaan. Data empiris penelitian ini memberikan hasil bahwa pengungkapan tema produk merupakan tema yang paling banyak diungkapkan oleh perusahaan-perusahaan sampel.
Hasil analisis pengujian hipotesis dalam penelitian ini menunjukkan bahwa indeks pengungkapan sosial dalam laporan keuangan tahunan berbeda pada perusahaan PMA dan PMDN. Hasil penelitian ini memberikan dukungan empiris bahwa perusahaan PMA lebih banyak memiliki informasi daripada perusahaan PMDN, sehingga item-item yang harus diungkapkan dalam laporan keuangan termasuk pengungkapan sosial akan menjadi lebih banyak. Dalam hal ini perusahaan asing memandang arti pentingnya pengungkapan sosial dalam menjelaskan kemungkinan-kemungkinan biaya lain-lain yang dikeluarkan. Alasan lain adalah bahwa perusahaan yang asing memiliki masalah keagenan yang lebih besar pula. Perusahaan asing memiliki peluang yang lebih besar untuk memperhatikan program-program sosial.
Setelah dilakukan berbagai pengujian asumsi klasik, maka diperoleh persamaan regresi yang sudah memenuhi kriteria diperoleh bahwa secara reaksi investor yang diukur dengan volume perdagangan saham belum sepenuhnya dapat dijelaskan oleh variabel pengungkapan sosial yang terdiri dari lingkungan, energi, kesehatan dan keselamatan tenaga kerja, lain- lain tenaga kerja, produk, keterlibatan masyarakat dan umum.
Hal ini menunjukkan bahwa item-item yang tergabung dalam pengungkapan sosial tidak berpengaruh signifikan terhadap investor. Dalam penelitian ini diperoleh bahwa secara umum informasi laporan keuangan dengan pegungkapan sosial dapat menjadi sebuah berita yang tidak memiliki kandungan informasi bagi investor. Tidak adanya pengaruh yang signifikan dari pengungkapan sosial secara umum terhadap reaksi investor lebih banyak dikarenakan bahwa informasi tersebut tidak memberikan petunjuk yang jelas mengenai posisi keuangan perusahaan dan lebih mengarah pada kewajiban sosial yang sudah dilakukan oleh manajemen. Selain itu pengungkapan sosial merupakan bagian dari pengungkapan sukarela, dimana meskipun perusahaan telah melakukan aktivitas yang berkaitan dengan tema sosial. Namun terkadang tidak melaporkannya dalam pengungkapan sosial. Dalam hal ini nampak bahwa investor tidak terlalu banyak pula dalam menanggapi telah dilakukan atau belum dilakukannya beberapa kewajiban perusahaan untuk aktivitas sosial tersebut.
Simpulan
Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan sebagai berikut :
a. Hasil uji beda menunjukkan adanya perbedaan luas item pengungkapan sosial pada perusahaan PMA dan PMDN perusahaan. Perusahaan PMA lebih banyak memiliki informasi daripada perusahaan PMDN.
b. Hasil uji statistik regresi linier diperoleh bahwa reaksi investor yang diukur dengan volume perdagangan saham kurang dapat dijelaskan oleh luasnya pengungkapan sosial yang terdiri dari penggabungan item-item lingkungan, energi, kesehatan dan keselamatan tenaga kerja, produk, keterlibatan masyarakat dan umum.

Keterbatasan
Secara umum keterbatasan penelitian ini adalah:
1. Penyusunan daftar pengungkapan sosial cenderung bersifat subyektif dan memungkinkan terlewatinya pembacaan item-item tertentu yang kemungkinan tertulis dalam laporan.
2. Tidak adanya standarisasi penulisan item pengungkapan sosial membuat interpretasi penulisan item-item pengungkapan sosial dapat menjadi sangat bersifat subyektif.
3. Banyaknya tema pengungkapan sosial yang muncul, membuat checklist pengungkapan sosial menjadi sulit dibedakam.
4. Sulitnya membedakan pengungkapan sosial dengan aktivitas sosial yang dilakukan oleh perusahaan, karena terkadang aktivitas sosial tidak dituliskan dalam pengungkapan sosial.

Implikasi dan Saran Penelitian
1. Untuk penelitian selanjutnya dapat dilakukan dengan menambahkan beberapa variabel yang secara teoritis dapat ditambahkan dalam model persamaan regresi diantaranya adalah luas pegungkapan yang lebih besar diantaranya adalah pengungkapan sukarela.
2. Perlunya menggunakan pengukuran kelengkapan pengungkapan dengan menggunakan beberapa panelis sebagai penilai ukuran kelengkapan pengungkapan dan selanjutnya dicari rata-rata dari panelis tersebut sebagai ukuran yang lebih baik untuk menghindari subyektivitas penelitian.
3. Perlu dilakukan penelitian selanjutnya mengenai mengenai alasan perusahaan melakukan pengungkapan sosial tersebut.
4. Saran bagi otoritas Bursa Efek Indonesia adalah perlu kiranya untuk membuat standarisasi penulisan pengungkapan sosial agar tidak memberikan interpretasi yang berbeda.












DAFTAR PUSTAKA

Anggraini, Fr. Reni Retno, 2006. Pengungkapan Informasi Sosial dan Faktor-faktor yang mempengaruhi pengungkapan informasi sosial dalam Laporan Keuangan Tahunan ( Studi Empiris pada perusahaan- perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta ). SNA 9 : Padang.
Bandi dan Jogiyanto Hartono, 2000. Perilaku Reaksi Harga dan Volume Perdagangan Saham Terhadap Pengumuman Deviden . Jurnal Riset Akuntansi Indonesia edisi V1.3 No:2: Juli 2000.
Belkaoui, Ahmed. 1985. Accounting Theory, second edition. Erlangga : Jakarta.
Chariri, Anis dan Ghozali, Imam, 2001. Teori Akuntansi. BPFE Universitas Diponegoro Semarang.
Chariri, Anis dan Ghozali, Imam, 2007. Teori Akuntansi. BPFE Universitas Diponegoro Semarang.
Ekasari, Nani, 2005. Pengaruh Karakteristik Perusahaan Terhadap Pengungkapan Sosial (Social Disclosure) Dalam Laporan Tahunan 2003 Perusahaan Go Publik di Bursa Efek Jakarta. Skripsi S1 Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro Semarang.
Fitriany. 2001. Signifikansi Perbedaan Tingkat Kelengkapan Pengungkapan Wajib dan Sukarela pada Laporan Keuangan Perusahaan Publik yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Simposium Nasional Akuntansi IV. Agustus 30-31. Bandung
Ghozali, Imam, 2005. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. BPFE Universitas Diponegoro Semarang.
Gujarati, Damudar N, 1997. Ekonomonetrika Dasar. Penerbit Erlangga : Jakarta. Terjemahan Sumarno Zain.
Gulo,Yamatuho, 2000. Analisis Efek Pengungkapan Sukarela dalam Laporan Tahunan Terhadap Cost of Equaty Capital Perusahaan . April, Jurnal Bisnis Dan Akuntansi,
Hadi, Nor, 2006. Kinerja Sosial, Kinerja Ekonomi dan Luas Pengungkapan Sosial, Kolokium III dan IV Program Doktor Ilmu Ekonomi Universitas Diponegoro Semarang (tidak dipublikasikan).
Hall, J.A. 2002. An Exploratory Investigation Into The Corporate Social Disclosure of Selected New Zealand Companies. School of Accountancy. 12 November 2005. http://www-accountancy.massey.ac.nz/docs/Discussion%20Paper/211.pdf.
Hendriksen, Eldon S dan Michael Van Breda, 1995. Teori Akuntansi. Jilid 1, Edisi Kelima (terjemahan). Interaksara, Jakarta.
Hendriksen, Eldon S dan Michael Van Breda, 1995. Teori Akuntansi. Jilid 2, Edisi Kelima (terjemahan). Interaksara, Jakarta.
http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_6_68.htm, 2003, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, 15 November 2005.
Ikatan Akuntansi Indonesia, 2000. Standar Akuntansi Keuangan, Paragraph 9. Salemba Empat : Jakarta.
Jogiyanto, 2004, Metodologi Penelitian Bisnis, Salah Kaprah dan Pengalaman-Pengalaman, BPFE,Yogyakarta.
Lako, Andreas, 2003. Problema Internasional dalam Pelaporan Informasi Akuntasi Sosial-Lingkungan Dan Implikasinya Terhadap Perusahaan-perusahaan Publik Indonesia. Pebruari-Maret 2003 Media Akuntansi Edisi 31..
Lutfi, Andy Prayogo Ika, 2001. Analisis Pengaruh Praktek Pengungkapan Sosial terhadap Perubahan Harga Saham Pada Perusahaan yang Terdaftar di BEJ . Skripsi tidak dipublikasikan. FE-UB, Malang.
Murni, Sri, 2001, “Akuntansi Sosial: Suatu Tinjauan mengenai Pengakuan, Pengukuran dan Pelaporan Externalities dalam Laporan Keuangan”, Vol. 2 No. 1 Januari: 153-169 Jurnal Akuntansi dan Investasi,.
Marwata. 2001. Hubungan Antara Karakteristik Perusahaan dan Kualitas Ungkapan Sukarela dalam Laporan Tahunan Perusahaan Publik di Indonesia. Simposium Nasional Akuntansi IV. 30-31 Agustus, Bandung. .
Mathews, M.R. 1997. Twenty-Five Years of Social and Environmental Accounting Research: Is there a Silver Jubilee to Celebrate? Vol. 10, No. 4, p. 481-531 Accounting, Auditing and Accountability Journal. .
Rizal, Muhammad, 2004. Pengaruh Karakteristik Perusahaan Terhadap Pengungkapan Sosial (Social Disclosures) Perusahaan Go Public di indonesia. vol. 2 : BALANCE Jakarta

PENGARUH IMPLEMENTASI CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP KUALITAS PENGUNGKAPAN INFORMASI

PENGARUH IMPLEMENTASI CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP KUALITAS PENGUNGKAPAN INFORMASI

Osmad Muthaher
Universitas Islam Sultan Agung

Abstarct

This study aimed to see the impact of the implementation of corporate governance disclosure. Implementation of Corporate Governance and disclosure are the two subjects that can protect investors from the asymmetry of information. In this study, the sampling method used was purposive sampling of selected samples from populations with specific criteria, namely those firms that entered the top 10 rankings conducted by IICG from year 2002 to 2006. Variables tested in this study consisted of disclosure of information, firm size and regulations to see its effect on the implementation of Corporate Governance. Corporate governance variables, ownership structure, existence of independent commissioners, audit committees, company size and profitability were also tested its effect on the level of disclosure. The analysis used in this research is descriptive statistics, normality test, the classical assumptions and multiple regression analysis. From the regression analysis conducted, it can be concluded that the implementation of the Corporate Governance significantly affect a company's level of disclosure. Companies with high corporate governance index will reveal better information in the financial statements of the company. Vice versa, companies that provide high disclosures in the financial statements will show that the implementation of Corporate Governance at the company better

Keywords: Corporate governance, ownership structure, existence of independent commissioners, audit committees, company size and profitability disclosure of information, firm size and regulations,

1 Latar Belakang Masalah

Corporate governance merupakan tata kelola perusahaan yang menjelaskan hubungan antara berbagai partisipan dalam perusahaan yang menentukan arah kinerja perusahaan. Isu mengenai corporate governance mulai mengemuka, khususnya di Indonesia pada tahun 1998 ketika Indonesia mengalami krisis yang berkepanjangan. Banyak pihak yang mengatakan lamanya proses perbaikan di Indonesia disebabkan oleh sangat lemahnya corporate governance yang diterapkan dalam perusahaan di Indonesia. Sejak saat itu, baik pemerintah maupun investor mulai memberikan perhatian yang cukup signifikan dalam praktek corporate governance.
Good Corporate Governance itu sendiri memiliki beberapa aspek penting yang harus diperhitungkan oleh kalangan bisnis. Dan aspek-aspek ini diharapkan dapat menjawab semua pertanyaan yang menjadi momok dalam perusahaan. Adanya keseimbangan hubungan antara organ-organ perusahaan di antaranya Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Komisaris, dan Direksi. Adanya pemenuhan tanggung jawab perusahaan sebagai entitas bisnis dalam masyarakat kepada seluruh stakeholder. Adanya hak-hak pemegang saham untuk mendapat informasi yang tepat dan benar pada waktu yang diperlukan mengenai perusahaan. Kemudian hak berperan serta dalam pengambilan keputusan mengenai perkembangan strategis dan perubahan mendasar atas perusahaan serta ikut menikmati keuntungan yang diperoleh perusahaan dalam pertumbuhannya. Adanya perlakuan yang sama terhadap para pemegang saham, terutama pemegang saham minoritas dan pemegang saham asing melalui keterbukaan informasi yang material dan relevan serta melarang penyampaian informasi untuk pihak sendiri yang bisa menguntungkan orang dalam (insider information for insider trading).
Beberapa penelitian yang secara khusus menguji hubungan antara struktur Corporate Governance dengan pengungkapan informasi telah dilakukan oleh Forker (1992), Ho dan Wong (2000), dan Sabeni (2002) dalam Khomsiyah (2003). Pentingnya penelitian mengenai Corporate Governance dan pengungkapan informasi dapat ditinjau dari dua perspektif. Penelitian dilakukan untuk mengetahui penerapan prinsip-prinsip Corporate Governance, mengingat pentingnya peran Corporate Governance dalam struktur pengelolaan bisnis dan
ekonomi moderen yang ditopang oleh pasar modal dan pasar uang (Witherell, 2000; Oman, 2001 dalam Khomsiyah, 2003), meningkatkan kepercayaan public pada perusahaan (Brayshaw, 2002 dalam Khomsiyah, 2003).
Penelitian Ho dan Wong (2000) dalam Khomsiyah (2003) menunjukkan bahwa Indonesia, Thailand dan Jepang yang mempunyai tingkat transparansi yang rendah, merupakan negara yang mengalami volatile shocks yang lebih besar dibandingkan dengan negara yang mempunyai transparansi yang lebih tinggi (Hongkong, Singapura dan Taiwan).
Penelitian yang dilakukan Khomsiyah (2003) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara penerapan Corporate Governance dengan pengungkapan informasi dalam laporan tahunan perusahaan. Semakin tinggi indeks implementasi Corporate Governance, semakin banyak informasi yang diungkapkan oleh perusahaan dalam laporan tahunan.
Sementara hasil penelitian Mintara (2008) implementasi Corporate Governance dan regulasi berpengaruh terhadap rpengaruh secara signifikan terhadap pengungkapan informasi sementara Struktur kepemilikan,dewan komisaris, ukuran perusahaan, komite audit dan profitabiltas tidak berpengaruh terhadap pengungkapan informasi.
Ketidakkonsistenan hasil-hasil penelitian terdahulu mengenai pengaruh Corporate Governance terhadap pengungkapan informasi, mendorong penulis untuk melakukan penelitian.
Tujuan penelitian ini untuk memperoleh bukti empiris atas pengaruh implementasi Corporate Governance dengan kualitas pengungkapan informasi.

TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

Pengertian Corporate Governance

Komite Cadbury mendefinisikan Corporate Governance (I Nyoman Tjager dalam Deny, 2005) adalah sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan dengan tujuan, agar mencapai keseimbangan antara kekuatan kewenangan yang diperlukan oleh perusahaan, untuk menjamin kelangsungan eksistensinya dan pertanggungjawaban kepada stakeholders. Hal ini berkaitan dengan peraturan kewenangan pemilik, direktur, manajer, pemegang saham, dan sebagainya.
Organization for Economic Cooperation and Development (OCED) mendefinisikan Corporate Governance (Indra Surya dan Ivan Yustiavandana, 2006) adalah bbbbbbbbbbbbbbbbbbbsekumpulan hubungan antara pihak manajemen perusahaan, board, pemegang saham, dan pihak lain yang mempunyai kepentingan dengan perusahaan. Corporate Governance juga mensyaratkan adanya struktur perangkat untuk mencapai tujuan dan pengawasan atas kinerja. Corporate Governance yang baik dapat memberikan rangsangan bagi board dan manajemen untuk mencapai tujuan yang merupakan kepentingan perusahaan, dan pemegang saham harus memfasilitasi pengawasan yang efektif sehingga mendorong perusahaan menggunakan sumber daya yang lebih efisien.

Stijn Claessens dalam Indra Surya dan Ivan Yustiavandana (2006) menyatakan bahwa, pengertian tentang Corporate Governance dapat dimasukkan dalam dua kateori. Kategori pertama, lebih condong pada serangkaian pola perilaku perusahaan yang diukur melalui kinerja, pertumbuhan, struktur pembiayaan, perlakuan terhadap para pemegang saham dan stakeholders. Kategori kedua lebih melihat pada kerangka normatif, yaitu segala ketentuan hukum baik yang berasal dari sistem hukum, sistem peradilan, pasar keuangan, dan sebagainya yang mempengaruhi perilaku perusahaan.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa Good Corporate Governance merupakan:
1. Suatu struktur yang mengatur pola hubungan harmonis tentang peran dewan komisaris, direksi, pemegang saham dan para stakeholder lainnya.
2. Suatu sistem pengecekan dan perimbangan kewenangan atas pengendalian perusahaan yang dapat membatasi munculnya dua peluang: pengelolaan yang salah dan penyalahgunaan aset perusahaan.
3. Suatu proses yang transparan atas penentuan tujuan perusahaan, pencapaian, berikut pengukuran kinerjanya.

Implementasi Prinsip Corporate Governance

Selain para pemegang saham atau investor, perlu diperhatikan juga kepentingan para kreditor karena hampir tidak ada perusahaan yang dapat berjalan dengan modalnya sendiri, sehingga mencari tambahan dana yang diperlukan untuk biaya operasional perusahaan ataupun ekspansi usaha.
Penerapan prinsip-prinsip good corporate governance dalam suatu
perusahaan merupakan salah satu bahan pertimbangan utama bagi kreditor dalam mengevaluasi potensi suatu perusahaan untuk menerima pinjaman kredit. Bahkan bagi perusahaan yang berdomisili di negara-negara berkembang, implementasi prinsip corporate governance secara konkret, dapat memberikan kontribusi untuk memulihkan kepercayaan para kreditor terhadap kinerja suatu perusahaan yang telah dilanda krisis, misalnya di Indonesia. Di dunia Internasional, penerapan good corporate governance sudah merupakan suatu syarat utama dalam perjanjian pemberian kredit. Seringkali perusahaan yang telah mengimplementasikan prinsip-prinsip good corporate governance, mempunyai kemungkinan besar untuk memperoleh bantuan kredit bagi usahanya.
Hal-hal tersebut sangat berkaitan dengan filosofi dasar kepentingan para
kreditor, yaitu bahwa kepentingan utama kreditor adalah mendapatkan keuntungan maksimal dan menekan seminimal mungkin resiko kegagalan pengembalian pinjaman. Keuntungan maksimal ini dapat diperoleh dengan berbagai jalan, salah satunya adalah dengan meningkatkan tingkat kemampuan
perusahaan debitor untuk mengembalikan dana yang telah dipinjam melalui efektivitas kinerja perusahaan tersebut.
Penerapan prinsip good corporate governance ini adalah untuk menghasilkan kinerja perusahaan yang efektif dan efisien, melalui harmonisasi
manajemen perusahaan. Dibutuhkan peran yang penuh komitmen dan independen dari dewan direksi dan dewan komisaris dalam menjalankan kegiatan perusahaan, sehingga menghasilkan kinerja perusahaan yang baik.

Peranan Dewan Komisaris
Seharusnya ada definisi yang jelas tentang komisaris "ekstern" atau komisaris "independen". Dalam hubungan ini, FCGI mengusulkan agar dipergunakan definisi yang diterima dalam lingkup internasional yaitu komisaris "ekstern" atau "independen". Kriteria Komisaris Independen diambil oleh FCGI dari kriteria otoritas bursa efek Australia tentang Outside Directors. Kriteria untuk Outside Directors dalam One Tier System tersebut telah diterjemahkan menjadi kriteria untuk Komisaris Independen dalam position paper FCGI kepada NCCG. Kriteria tentang Komisaris Independen tersebut adalah sebagai berikut:
1. Komisaris Independen bukan merupakan anggota manajemen;
2. Komisaris Independen bukan merupakan pemegang saham mayoritas, atau seorang pejabat dari atau dengan cara lain yang berhubungan secara langsung atau tidak langsung dengan pemegang saham mayoritas dari perusahaan;
3. Komisaris Independen dalam kurun waktu tiga tahun terakhir tidak dipekerjakan dalam kapasitasnya sebagai eksekutif oleh perusahaan atau perusahaan lainnya dalam satu kelompok usaha dan tidak pula dipekerjakan dalam kapasitasnya sebagai komisaris setelah tidak lagi menempati posisi seperti itu;
4. Komisaris Independen bukan merupakan penasehat professional perusahaan atau perusahaan lainnya yang satu kelompok dengan perusahaan tersebut;
5. Komisaris Independen bukan merupakan seorang pemasok atau pelanggan yang signifikan dan berpengaruh dari perusahaan atau perusahaan lainnya yang satu kelompok, atau dengan cara lain berhubungan secara langsung atau tidak langsung dengan pemasok atau pelanggan tersebut;
6. Komisaris independen tidak memiliki kontraktual dengan perusahaan atau perusahaan lainnya yang satu kelompok selain sebagai komisaris perusahaan tersebut;
7. Komisaris Independen harus bebas dari kepentingan dan urusan bisnis apapun atau hubungan lainnya yang dapat, atau secara wajar dapat dianggap sebagai campur tangan secara material dengan kemampuannya sebagai seorang komisaris untuk bertindak demi kepentingan yang menguntungkan perusahaan. (IndraSurya dan Ivan Yustiavandana, 2006).
Dewan Komisaris memegang peranan yang sangat penting dalam perusahaan, terutama dalam pelaksanaan Good Corporate Governance. Menurut Egon Zehnder, Dewan Komisaris -merupakan inti dari Corporate Governance -yang ditugaskan untuk menjamin pelaksanaan strategi perusahaan, mengawasi manajemen dalam mengelola perusahaan, serta mewajibkan terlaksananya akuntabilitas. Pada intinya, Dewan Komisaris merupakan suatu mekanisme mengawasi dan mekanisme untuk memberikan petunjuk dan arahan pada pengelola perusahaan. Mengingat manajemen yang bertanggungjawab untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing perusahaan sedangkan Dewan Komisaris bertanggungjawab untuk mengawasi manajemen, maka Dewan Komisaris merupakan pusat ketahanan dan kesuksesan perusahaan. Lebih lanjut tugas-tugas utama Dewan Komisaris meliputi:
1. Menilai dan mengarahkan strategi perusahaan, garis-garis besar rencana kerja, kebijakan pengendalian risiko, anggaran tahunan dan rencana usaha; menetapkan sasaran kerja; mengawasi pelaksanaan dan kinerja perusahaan; serta memonitor penggunaan modal perusahaan, investasi dan penjualan aset. Tugas ini terkait dengan peran dan tanggung jawab, serta mendukung usaha untuk menjamin penyeimbangan kepentingan manajemen (accountability);
2. Menilai sistem penetapan penggajian pejabat pada posisi kunci dan penggajian anggota Dewan Direksi, serta menjamin suatu proses pencalonan anggota Dewan Direksi yang transparan (transparency) danadil (fairness);
3. Memonitor dan mengatasi masalah benturan kepentingan pada tingkat manajemen, anggota Dewan Direksi dan anggota Dewan Komisaris, termasuk penyalahgunaan aset perusahaan dan manipulasi transaksi perusahaan. Tugas ini untuk memberikan perlindungan hak-hak para pemegang saham (fairness);
4. Memonitor pelaksanaan Governance, dan mengadakan perubahan di mana perlu, komisaris independen harus melaksanakan transparansi (transparency) dan pertanggungjawaban (responsibilitiy) atas hal ini;
5. Memantau proses keterbukaan dan efektifitas komunikasi dalam perusahaan (OECD Principles of Corporate Governance). Proses keterbukaan (transparency) ini untuk menjamin tersedianya informasi yang tepat waktu dan jelas.

Peranan Komite Audit
Telah diketahui secara umum bahwa untuk dapat bekerja secara tepat guna dalam suatu lingkungan usaha yang kompleks Dewan Komisaris harus mendelegasikan beberapa tugas mereka kepada komite-komite. Adanya komite, komite ini merupakan suatu sistem yang bermanfaat untuk dapat melaksanakan pekerjaan Dewan Komisaris secara lebih rinci dengan memusatkan perhatian Dewan Komisaris kepada bidang khusus perusahaan atau cara pengelolaan yang baik (Governance) oleh manajemen. Komite yang pada umumnya dibentuk adalah Komite Kompensasi / Remunerasi untuk badan eksekutif dalam perusahaan, Komite Nominasi, dan Komite Audit. Berdasarkan praktik yang umum berlaku di dunia internasional disarankan bahwa anggota komite-komite tersebut diisi oleh anggota Komisaris Independen.
Walaupun komite-komite tersebut belum merupakan hal yang umum terdapat di berbagai bagian dunia, namun kecenderungan menyebar sejalan dengan perkembangan perusahaan, serta masalah yang lebih kompleks dan lebih luas, Dewan komisaris harus mempertimbangkan untuk mengangkat seorang komisaris dan menetapkan suatu kebijakan tentang pergantian ketua komitekomite tersebut. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa setiap komisaris mendapat kesempatan untuk ikut serta sesuai dengan caranya masing-masing dan untuk memperoleh pandangan-pandangan baru .
Dalam Corporate Governance terdapat tiga komite yang memiliki peranan penting, yaitu:
1. Komite Kompensasi / Remunerasi (Compensation / Remuneration Committee)
Membuat rekomendasi terhadap keputusan-keputusan yang menyangkut remunerasi / kompensasi untuk Dewan Direksi dan kebijakan- kebijakan kompensasi lainnya, termasuk hubungan antara prestasi perusahaan dengan kompensasi bagi eksekutif perusahaan dalam hal ini CEO.
2. Komite Nominasi (Nomination / Governance Committee)
Mengawasi proses pencalonan komisaris dan direksi, menyeleksi para kandidat yang akan dicalonkan, dan mengusulkan kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur tentang struktur dewan dan proses nominasinya.
3. Komite Audit (Audit Committee)
Memberikan suatu pandangan tentang masalah akuntansi, laporan keuangan dan penjelasannya, sistem pengawasan internal serta auditor independen.
Salah satu dari komite-komite yang telah disebutkan di atas yaitu Komite Audit memiliki tugas terpisah dalam membantu Dewan Komisaris untuk memenuhi tanggung jawabnya dalam memberikan pengawasan secara menyeluruh. Sebagai contoh, Komite Audit memiliki wewenang untuk melaksanakan dan mengesahkan penyelidikan terhadap masalah-masalah di dalam cakupan tanggung jawabnya. The Institute of Internal Auditors (IIA) merekomendasikan bahwa setiap perusahaan publik harus memiliki Komite Audit yang diatur sebagai komite tetap. IIA juga menganjurkan dibentuknya Komite Audit di dalam organisasi lainnya, termasuk lembaga-lembaga non-profit dan pemerintahan.
Komite Audit beranggotakan Komisaris Independen, dan terlepas dari kegiatan manajemen sehari-hari dan mempunyai tanggung jawab utama untuk membantu Dewan Komisaris dalam menjalankan tanggung jawabnya terutama dengan masalah yang berhubungan dengan kebijakan akuntansi perusahaan, pengawasan internal, dan sistem pelaporan keuangan.
Pada umumnya, Komite Audit mempunyai tanggung jawab pada tiga bidang, yaitu;
1. Laporan Keuangan (Financial Reporting)
Tanggung jawab komite audit di bidang laporan keuangan adalah untuk memastikan bahwa laporan yang dibuat manajemen telah memberikan gambaran yang sebenarnya tentang kondisi keuangan, hasil usaha, rencana dan komitmen perusahaan jangka panjang.
2. Tata Kelola Perusahaan (Corporate Governance)
Tanggung jawab komite audit dalam bidang tata kelola perusahaan adalah untuk memastikan bahwa perusahaan telah dijalankan sesuai undang undang dan peraturan yang berlaku dan etika, melaksanakan pengawasan secara efektif terhadap benturan kepentingan dan kecurangan yang dilakukan oleh karyawan perusahaan.
3. Pengawasan Perusahaan (Corporate Control)
Komite audit bertanggungjawab untuk pengawasan perusahaan termasuk di dalamnya hal-hal yang berpotensi mengandung risiko dan system pengendalian intern serta memonitor proses pengawasan yang dilakukan oleh auditor internal (Indra Surya dan Ivan Yustiavandana, 2006).
Komite Audit harus terdiri dari individu-indidvidu yang mandiri dan tidak terlibat dengan tugas sehari-hari dari manajemen yang mengelola perusahaan, dan yang memiliki pengalaman untuk melaksanakan fungsi pengawasan secara efektif. Salah satu dari beberapa alasan utama kemandirian ini adalah untuk memelihara integritas serta pandangan yang objektif dalam laporan serta penyusunan rekomendasi yang diajukan oleh Komite Audit, karena individu yang mandiri cenderung lebih adil dan tidak memihak serta obyektif dalam menangani suatu permasalahan.
Jumlah anggota Komite Audit disesuaikan besar kecilnya dengan organisasi dan tanggung jawab. Namun biasanya tiga sampai lima anggota merupakan jumlah yang cukup ideal. Komite Audit biasanya perlu untuk mengadakan rapat tiga sampai empat kali setahun untuk melaksanakan kewajiban dan tanggungjawabnya yang menyangkut soal sistem pelaporan keuangan.
Tanggungjawab Komite Audit dalam bidang Corporate Governance adalah sebagai berikut :
1. Menilai kebijakan perusahaan yang berhubungan dengan kepatuhan terhadap undang-undang dan peraturan, etika, benturan kepentingan dan penyelidikan terhadap perbuatan yang merugikan perusahaan dan kecurangan;
2. Memonitor proses pengadilan yang sedang terjadi ataupun yang ditunda serta yang menyangkut masalah Corporate Governance dalam hal di mana perusahaan menjadi salah satu pihak yang terkait di dalamnya;
3. Memeriksa kasus-kasus penting yang berhubungan dengan benturan kepentingan, perbuatan yang merugikan perusahaan, dan kecurangan;
4. Keharusan auditor internal untuk melaporkan hasil pemeriksaan Corporate Governance dan temuan-temuan penting lainnya.

Peranan Dewan Direksi
Direksi sebagai organ perusahaan bertugas dan bertanggungjawab secara kolegial dalam mengelola perusahaan. Masing-masing anggota Direksi dapat melaksanakan tugas dan mengambil keputusan sesuai dengan pembagian tugas dan wewenangnya. Namun, pelaksanaan tugas oleh masing-masing anggota Direksi tetap merupakan tanggung jawab bersama. Kedudukan masing-masing anggota Direksi termasuk Direktur Utama adalah setara. Tugas Direktur Utama sebagai primus inter pares adalah mengkoordinasikan kegiatan Direksi. Agar pelaksanaan tugas Direksi dapat berjalan secara efektif, perlu dipenuhi prinsip - prinsip berikut:
1. Komposisi Direksi harus sedemikian rupa sehingga memungkinkan pengambilan keputusan secara efektif, tepat dan cepat, serta dapat bertindak independen.
2. Direksi harus profesional yaitu berintegritas dan memiliki pengalaman serta kecakapan yang diperlukan untuk menjalankan tugasnya.
3. Direksi bertanggung jawab terhadap pengelolaan perusahaan agar dapat menghasilkan keuntungan (profitability) dan memastikan kesinambungan usaha perusahaan.
4. Direksi mempertanggungjawabkan kepengurusannya dalam RUPS sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Fungsi pengelolaan perusahaan oleh Direksi mencakup empat tugas utama yaitu kepengurusan, manajemen risiko, pengendalian internal, tanggung jawab sosial.
1. Kepengurusan
a. Direksi harus menyusun visi, misi, dan nilai-nilai serta program jangka panjang dan jangka pendek perusahaan untuk dibicarakan dan disetujui oleh Dewan Komisaris atau RUPS sesuai dengan ketentuan anggaran dasar;
b. Direksi harus dapat mengendalikan sumber daya yang dimiliki oleh perusahaan secara efektif dan efisien;
c. Direksi harus memperhatikan kepentingan yang wajar dari pemangku kepentingan;
d. Direksi dapat memberikan kuasa kepada komite yang dibentuk untuk mendukung pelaksanaan tugasnya atau kepada karyawan perusahaan untuk melaksanakan tugas tertentu, namun tanggung jawab tetap berada pada Direksi;
e. Direksi harus memiliki tata tertib dan pedoman kerja (charter) sehingga pelaksanaan tugasnya dapat terarah dan efektif serta dapat digunakan sebagai salah satu alat penilaian kinerja.

Corporate Governance dan Pengungkapan Informasi
Khomsiyah ( 2003 ) menguji hubungan antara penerapan Corporate Governance dengan tingkat pengungkapan informasi. Selain itu penelitian ini juga menguji pengaruh struktur kepemilikan masyarakat, keberadaan dewan komisaris independen, keberadaan dewan komite audit, ukuran perusahaan, dan regulasi. Penelitian ini menggunakan perusahaan sebagai sampel, sesuai dengan perusahaan yang bersedia disurvey oleh IICG pada tahun 2001 dan 2002, dengan mengeluarkan 2 perusahaan yang mempunyai masalah setelah hasil survey dipublikasikan.
Terdapat prediksi yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara penerapan Corporate Governance dengan pengungkapan informasi dalam laporan keuangan tahunan perusahaan. Semakin tinggi indeks implementasi Corporate Governance, semakin banyak informasi yang diungkapkan oleh perusahaan dalam laporan tahunan.
H1: Implementasi Corporate Governance secara signifikan mempengaruhi pengungkapan informasi.

Regulasi dan Pengungkapan Informasi
Penelitian yang dilakukan Khomsiyah ( 2003 ) menyatakan bahwa terdapat keterkaitan antra faktor regulasi dengan pengungkapan informasi perusahaan. Hal ini didasarkan pada penerapan prinsip responsibilitas mengenai tanggung jawab perusahaan sebagai bagian dari masyarakat kepada stakeholders dan lingkungan dimana perusahaan itu berada. Maka dapat diasumsikan bahwa perusahaan dengan tingkat regulasi tinggi cenderung untuk mengungkapkan informasinya dengan lebih baik demi mematuhi peraturan yang berlaku.
H2 : Regulasi berpengaruh secara signifikan terhadap pengungkapan informasi.

Struktur Kepemilikan dan Pengungkapan Informasi
Susanto (1992) melakukan penelitian untuk menguji hubungan basis perusahaan, waktu listing, dan tingkat kepemilikan sahm oleh investor asing terhadap luas Corporate Disclosure dalam laporan tahunan. Untuk menguji hipotesis, ia memasukkan variable size, profitabilitas, auditor perusahaan, leverage dan tingkat kepemilikan oleh public sebagai variable control. Luas pengungkapan diukur dengan 30 item pengungkapan sukarela pada 98 perusahaan yang terdaftar di BEJ. Kemudian data tersebut dianalisis dengan analisis regresi berganda.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa basis perusahaan, waktu listing, dan size berpengaruh signifikan terhadap Corporate Disclosure. Hal ini sejalan dengan prinsip transparansi dalam penerapan Corporate Governance, karena seharusnya perusahaan dengan struktur kepemilikan masyarakat yang tinggi memiliki tekanan yang lebih tinggi untuk memberikan pengungkapan yang lebih baik. Lebih lanjut, Susanto (1992) menjelaskan bahwa perusahaan dengan kepemilikan masyarakat lebih besar akan memberikan pengungkapan yang lebih banyak dengan alasan untuk memasarkan sahamnya.
H3 : Struktur kepemilikan secara signifikan berpengaruh terhadap pengungkapan informasi.

Keberadaan Dewan Komisaris dan Pengungkapan Informasi
Komisaris independen merupakan sebuah badan dalam perusahaan yang biasanya beranggotakan dewan komisaris yang independen yang berasal dari luar perusahaan yang berfungsi untuk menilai kinerja perusahaan secara luas dan keseluruhan. Komisaris independen bertujuan untuk menyeimbangkan dalam pengambilan keputusan khususnya dalam rangka perlindungan terhadap pemegang saham minoritas dan pihak-pihak lain yang terkait.
Dapat disimpulkan keberadaan komisaris independen pada suatu perusahaan dapat mempengaruhi integitas suatu laporan keuangan yang dihasilkan oleh manajemen. Jika perusahaan memiliki komisaris independen maka laporan keuangan yang disajikan oleh manajemen cenderung lebih berintegritas, karena didalam perusahaan terdapat badan yang mengawasi dan melindungi hak pihak-pihak diluar manajemen perusahaan.
Berdasarkan uraian di atas, maka diperoleh hipotesis sebagai berikut :
H4 : Keberadaan dewan komisaris independen secara signifikan berpengaruh terhadap pengungkapan informasi.

Keberadaan Komite audit dan Pengungkapan Informasi
Komite audit merupakan badan yang dibentuk oleh dewan direksi untuk mengaudit operasi dan keadaan. Badan ini bertugas memilih dan menilai kinerja perusahaan kantor akuntan publik. (Siegel, 1996) Komite audit adalah suatu badan yang dibentuk didalam perusahaan klien yang bertugas untuk memelihara independensi akuntan pemeriksa terhadap manajemen. (Supriyono, 1998) Komite audit berfungsi untuk memberikan pandangan mengenai masalah-masalah yang berhubungan dengan kebijakan keuangan, akuntansi dan pengendalian intern.
Keberadaan komisaris independen dan komite audit mendukung prinsip responsibilitas dalam penerapan Corporate Governance, yang mengharuskan perusahaan untuk memberikan informasi lebih baik sebagai wujud pertanggungjawaban kepada stakeholders yaitu melindungi para stakeholders dari informasi yang menyesatkan, fraud dan insider information yang hanya menguntungkan beberapa pihak.
H5 : Komite audit secara signifikan berpengaruh terhadap pengungkapan informasi.

Ukuran perusahaan dan Pengungkapan Informasi
Fitriani ( 2001 ) mengkaji apakah terdapat perbedaan yang signifikan dan bersifat matematis dalam hal keluasan pengungkapan wajib dan sukarela perusahan – perusahaan yang terdaftr di BEJ. Dengan menggunakan analisis regresi berganda, penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang sistematik mengenai tingkat kelengkapan pengungkapan laporan keuangan tahun 1999 diantara perusahaan – perusahaan yang terdaftar di BEJ.
Faktor – factor yang mempengaruhi indeks kelengkapan pengungkapan wajib adalah size perusahaan, status perusahaan, jenis perusahaan, net profit margin dan KAP. Alasan lainnya adalah perusahaan besar memiliki hubungan eksternal yang lebih luas dan berkepentingan dengan banyak pihak, baik itu pemerintah, investor asing, bank internasional dan sebagainya. Hal ini yang menekan perusahaan besar untuk meningkatkan kualitas transparansi dalam pemberian informasi. Semakin luas ukuran perusahaan, maka semakin luas pula pengungkapan informasi yang dilakukan perusahaan pada laporan tahunannya.
H6 : Ukuran perusahaan secara signifikan berpengaruh terhadap pengungkapan informasi.
2.2.7 Profitabilitas dan Pengungkapan Informasi
Profitabilitas merupakan faktor yang membuat manajemen menjadi bebas dan fleksibel untuk mengungkapkan pertanggungjawaban sosial kepada pemegang saham Heinze (1976) dalam Hackston & Milne (1996). Sehingga semakin tinggi tingkat profitabilitas perusahaan maka semakin besar pengungkapan informasi sosial Bowman & Haire (1976) dan Preston (1978) dalam Hackston & Milne (1996). Belkaoui & Karpik (Anggraini, 2006) mengatakan bahwa dengan kepeduliannya terhadap masyarakat (sosial) menghendaki manajemen untuk membuat perusahaan menjadi profitable.
Perusahaan yang menghasilkan laba ( profitable ) juga akan melakukan pengungkapan yang lebih luas. Hal tersebut disebabkan manajemen perusahaan ingin meyakinkan bahwa perusahaan dalam posisi persaingan yang kuat dan memperlihatkan bahwa kinerja perusahaan yang bagus. Selain dari pihak manajemen, perusahaan juga ingin agar investor dan kreditor yakin bahwa perusahaan berada dalam posisi persaingan yang kuat dan operasi perusahaan berjalan efisien.
H7 : Profitabilitas secara signifikan mempengaruhi pengungkapan informasi.

Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel
Populasi penelitian ini adalah seluruh perusahaan yang termasuk dalam pemeringkatan Corporate Governance Perception Index dan terdaftar di Bursa Efek Jakarta tahun 2002 sampai dengan tahun 2006.
Sedangkan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah perusahaan yang sudah menerapkan corporate governance dan terdaftar di Bursa Efek Jakarta tahun 2002 sampai dengan tahun 2006, yang masuk yang masuk dalam pemeringkatan penerapan corporate governance yang dilakukan oleh (The Indonesian Institute for Corporate Governance (IICG) berupa skor pemeringkatan CGPI (Corporate Governance Perception Index).
Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling yaitu teknik sampling dengan menggunakan pertimbangan dan batasan tertentu sehingga sampel yang dipilih relevan dengan tujuan penelitian. Peneliti menetapkan kriteria pemilihan sampel yang akan diteliti adalah :
1. Indonesian Capital Market Directory (ICMD)
Data berupa laporan keuangan periode 2002-2006, yang telah dipublikasikan pada Indonesian Capital Market Directory (ICMD) tahun 2003-2007, memuat annual report yang meliputi neraca dan laporan laba rugi untuk tahun 2002-2006.
2. The Indonesian Institue for Corporate Governance
Data yang bersifat sekunder dari lembaga riset independen The Indonesian Institute for Corporate Governance (IICG) yang berupa Corporate Governance Perception Index (CGPI) dari tahun 2002-2006.

Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini meliputi variabel bebas (independent variable) dan variabel terikat (dependent variable) (Khomsiyah, 2003).
1. Variabel Dependen
Variabel dependen dalam penelitian ini adalah pengungkapan informasi yang dilihat dari persentase indeks pengungkapan pada masing-masing perusahaan. Indeks Pengungkapan disini merupakan butir laporan keuangan minimum yang harus diungkapkan dalam laporan keuangan yang diatur secara rinci dalam SAK. Menghitung variabel independent dengan menggunakan rumus sebagai berikut ;
IP = n/k
Keterangan : IP : Indeks Pengungkapan
n : Jumlah butir pengungkapan yang dipenuhi
k : Jumlah semua butir pengungkapan yang mungkin dipenuhi
2. Variabel Independen
Variabel Independen dalam persamaan ini meliputi ;
a. Indeks Corporate Governance.
Indeks ini adalah hasil pemeringkatan atas penerapan Corporate Governance yang dilakukan oleh lembaga riset independen IICG.
b. Size / ukuran perusahaan.
Ukuran perusahaan diukur dengan menggunakan total aktiva dari neraca perusahaan.
c. Struktur Kepemilikan
Menekankan pada proporsi kepemilikan masyarakat sebagai pihak luar dari perusahaan. Merupakan suatu bentuk mekanisme Corporate Governance yang bisa menyamakan kepentingan pemilik, pengelola atau manajer perusahaan maupun pihakeksternal. Proporsi kepemilikan diwakili oleh variabel dummy, nilai 1 untuk kepemilikan masyarakat >20% dan nilai 0 untuk kepemilikan masyarakat <20%. d. Dewan komisaris Menekankan pada komposisi keberadaan komisaris independent terhadap jumlah seluruh komisaris, artinya sekurang-kurangnya 20% anggota dewan komisaris haruslah merupakan orang-orang luar. Penelitian ini menggunakan variabel dummy yaitu bernilai 1 jika perusahaan memiliki susunan komisaris independen sesuai dengan peraturan BEJ, dan 0 jika tidak memiliki susunan dewan komisaris independen. e. Komite audit Keberadaan komite audit merupakan salah satu kriteria penerapan GCG. Komite audit terdiri dari 3 sampai 5 orang anggota, diambil oleh dewan komisaris bukan dewan direksi agar obyektivitasnya terjaga. Menggunakan variabel dummy yaitu 1 jika perusahaan memiliki susunan komite audit sesuai dengan peraturan BEJ dan 0 jika perusahaan tidak memiliki susunan komite audit independent sesuai dengan peraturan BEJ. f. Regulasi. Faktor regulasi diukur dengan menggunakan variabel dummy, dengan 1 untuk perusahaan yang masuk dalam industri perbankan (begitu pula untuk BUMN). g. Profitabilitas Profitabilitas dihitung dengan menggunakan ROE. ROE (Return on equity) digunakan untuk mengukur tingkat pengembalian dari total ekuitas. ROE menggambarkan kemampuan modal sendiri untuk menghasilkan keuntungan bagi pemegang saham, karena dalam ROE yang digunakan sebagai pengukur efisiensi adalah besarnya laba bersih dari jumlah modal sendiri yang digunakan perusahaan. Jadi, ROE merupakan tingkat hasil pengembalian investasi bagi pemegang saham. ROE dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: ROE = Laba Bersih Total Ekuitas Analisis Data dan Pembahasan Model ini menempatkan variabel pengungkapan sebagai variabel terikatnya. Hasil persamaan model regresi dari hasil penelitian diperoleh sebagai berikut. Tabel 4.7 Rekapitulasi hasil regresi Sumber : Data sekunder yang diolah Model persamaannya adalah sebagai berikut : DISCLOSURE = 0,275 + 0,004 GCG + 0,014 SK – 0,059 KI + 0,038 KA - 0,002 SIZE + 0,001 PROFIT + 0,009 REGULASI + e Pengujian terhadap masing-masing hipotesis berdasarkan hasil penelitian dijelaskan sebagai berikut : 1. Variabel GCG Hasil pengujian dilakukan dengan melihat nilai uji t dan hasil signifikansi pengujiannya. Hasil pengujian variabel GCG menunjukkan bahwa variabel tersebut mempunyai nilai t = 2,745 dengan probabilitas 0,009 (p < 0,05). Nilai signifikansi tersebut lebih kecil dari taraf signifikansi 0,05. Hal ini berarti bahwa GCG memiliki pengaruh yang signifikan terhadap indeks pengungkapan. Dengan demikian Hipotesis 1 diterima. Arah koefisien regresi bertanda positif berarti bahwa GCG yang semakin besar akan meningkatkan indeks pengungkapan yang dilakukan oleh perusahaan. 2. Variabel Struktur Kepemilikan Hasil pengujian dilakukan dengan melihat nilai uji t dan hasil signifikansi pengujiannya. Hasil pengujian variabel struktur kepemilikan menunjukkan bahwa variabel tersebut mempunyai nilai t = 0,800 dengan probabilitas 0,428 (p > 0,05). Nilai signifikansi tersebut lebih besar dari taraf signifikansi 0,05. Hal ini berarti bahwa struktur kepemilikan tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap indeks pengungkapan. Dengan demikian Hipotesis 2 ditolak.
3. Variabel Komisaris Independen
Hasil pengujian dilakukan dengan melihat nilai uji t dan hasil signifikansi pengujiannya. Hasil pengujian variabel komisaris independen menunjukkan bahwa variabel tersebut mempunyai nilai t = -1,445 dengan probabilitas 0,156 (p > 0,05). Nilai signifikansi tersebut lebih besar dari taraf signifikansi 0,05. Hal ini berarti bahwa komisaris independen tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap indeks pengungkapan. Dengan demikian Hipotesis 3 ditolak.
4. Variabel Kualitas Audit
Hasil pengujian dilakukan dengan melihat nilai uji t dan hasil signifikansi pengujiannya. Hasil pengujian variabel Kualitas audit menunjukkan bahwa variabel tersebut mempunyai nilai t = 2,462 dengan probabilitas 0,018 (p < 0,05). Nilai signifikansi tersebut lebih kecil dari taraf signifikansi 0,05. Hal ini berarti bahwa Kualitas audit memiliki pengaruh yang signifikan terhadap indeks pengungkapan. Dengan demikian Hipotesis 4 diterima. Arah koefisien regresi bertanda positif berarti bahwa laporan keuangan yang diaudit oleh KAP Big 4 akan meningkatkan indeks pengungkapan yang dilakukan oleh perusahaan. 5. Variabel Ukuran Perusahaan Hasil pengujian dilakukan dengan melihat nilai uji t dan hasil signifikansi pengujiannya. Hasil pengujian variabel ukuran perusahaan menunjukkan bahwa variabel tersebut mempunyai nilai t = -0,392 dengan probabilitas 0,697 (p > 0,05). Nilai signifikansi tersebut lebih besar dari taraf signifikansi 0,05. Hal ini berarti bahwa ukuran perusahaan tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap indeks pengungkapan. Dengan demikian Hipotesis 5 ditolak.
6. Variabel Profitabilitas
Hasil pengujian dilakukan dengan melihat nilai uji t dan hasil signifikansi pengujiannya. Hasil pengujian variabel Profitabilitas menunjukkan bahwa variabel tersebut mempunyai nilai t = 2,656 dengan probabilitas 0,011 (p < 0,05). Nilai signifikansi tersebut lebih kecil dari taraf signifikansi 0,05. Hal ini berarti bahwa profitabilitas memiliki pengaruh yang signifikan terhadap indeks pengungkapan. Dengan demikian Hipotesis 6 diterima. Arah koefisien regresi bertanda positif berarti bahwa laporan keuangan yang memiliki profitabilitas yang lebih besar akan meningkatkan indeks pengungkapan yang dilakukan oleh perusahaan. 7. Variabel Regulasi Hasil pengujian dilakukan dengan melihat nilai uji t dan hasil signifikansi pengujiannya. Hasil pengujian variabel ukuran perusahaan menunjukkan bahwa variabel tersebut mempunyai nilai t = -0,525 dengan probabilitas 0,602 (p > 0,05). Nilai signifikansi tersebut lebih besar dari taraf signifikansi 0,05. Hal ini berarti bahwa regulasi tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap indeks pengungkapan. Dengan demikian Hipotesis 7 ditolak.

Diskusi Hasil dan Implementasi Manajerial
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk membuktikan apakah penerapan Good Corporate Governance mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pengungkapan informasi yang dilakukan perusahaan dalam laporan keuangan tahunan. Penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Khomsiyah (2003), yang menyatakan semakin tinggi indeks CorporateGovernance suatu perusahaan yang menerapkan Good Corporate Governance,
maka semakin tinggi pula tingkat pengungkapan informasinya. Hasil pengujian menunjukkan bahwa corporate governance yang diukur dengan menggunakan CGPI memiliki pengaruh yang significan terhadap indeks pengungkapan. Hal ini berarti bahwa corporate governance yang diterapkan secara lebih baik oleh perusahaan akan memberikan peningkatan pada upaya perusahaan untuk mengungkapkan aktivitas perusahaan dalam laporan keuangan tahunan perusahaan. Hal ini dikarenakan dengan penerapan GCG dengan konsisten maka mekanisme pengambilan keputusan cenderung berorientasi pada kepentingan besar dari perusahaan, salah satunya adalah kepentingan pemegang saham. Penerapan yang baik terhadap GCG akan mengendalikan manajemen untuk bertindak sebagaimana yang diharapkan sehingga aktivtas tetap terkontrol.
Sementara struktur kepemilikan saham manajerial tidak memiliki pengaruh yang significan terhadap indeks pengungkapan. Alasan yang mendasarinya adalah bahwa struktur kepemilikan saham manajerial meruakan posisi ganda dari pemegang saham sekalius sebagai pengelola perushaan. Di satu sisi saebagai pemegang saham, manajerial pemegang saham tentu akan berusaha mengungkapkan pengungkapan secata seluas-luasnya, namun di sisi lain, manajerial juga berusaha menyembunyikan informasi bagi kepentingan mereka yang tidak akan dibagikan kepada pihak luar.
Kepemilikan saham manajerial tidak berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan. Hal ini menjelaskan bahwa kepemilikan saham yang lebih besar pada manajerial masih belum menjadi pertimbangan manajemen untuk melaporkan mengenai kondisi perusahaan.
Keberadaan komisaris independen tidak memiliki pengaruh yang significan terhadap indeks pengungkapan.. Hal ini nampaknya disebabkan karena belkum efektifnya keberadaan komisaris independen dalam memantau kebijakan manajerial dalam menjalankan usahanya, sehingga item-item yang akan diungkapkan oleh manajerial dalam laporan keuangan perusahaan tidak terkontrol oleh komisaris independen.
Kualitas auditor yang diukut dengan KAP big 4 atau non Big 4 berpengaruh signifikan terhadap indeks pengungkapan dengan arah positif. Hal ini berarti bahwa perusahaan yang diaudit oleh KAP big 4 cenderung memiliki indeks pengungkapan yang lebih luas. Hal ini dikarenakan bahwa KAP Big 4 memiliki reputasi yang baik dalam mengaudit laporan keuangan perusahaan. Hal ini kemudian memaksa manajemen untuk memberikan informasi yang seluas-luasnya dalam laporan keuangan agar mendapat opini wajar dari KAP.
Ukuran perusahaan yang diukut dengan total tidak memiliki rpengaruh signifikan terhadap indeks pengungkapan. Hal ini dikarenakan bahwa perusahaan besar tidak selalu mengungkapkan pengungkapan yang lebih luas dalam kaporan leuangannya. Hal ini dikarenakan dalam kondisi tertentu perusahaan hanya akan mengungkapkan pengungkapan-pengungkapan yang seperlunya saja. Namun di sisi lain, perusahaan besar terkadang memiliki jumlah item yang lebih banyak yang harus diungkapkan, sehingga ukuran perusahaan bukan merupakan fdaktor utama dalam pengungkapan laporan keuangan perusahaan.
Profitabilitas memiliki pengaruh yang significan terhadap indeks pengungkapan dengan arah positif. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan laba preusan dalam satu periode akan meningkatkan keinginan manajemen untuk melaporkan kondisi keuangan secara lebih luas dengan harapan adanya reaksi positif dari investor yang dapat beralibat pada naiknya harga saham perusahaan sehingga nilai pasar ekuitas saham perusahaan mengalami pertumbuhan. Hal ini dikarenakan dengan dilakukannya pengungkapan laba yang lebih luas oleh perusahaan, maka kepercayaan investor terhadap perusahaan akan meningkat. Hal ini dapat menciptakan permintaan terhadap saham akan semakin besar. Berdasarkan konsep permintaan dan penawaran, jika permintaan saham mengalami peningkatran, maka harga saham akan mengalami peningkatan.
Regulasi tidak memiliki pengaruh yang significan terhadap indeks pengungkapan dengan arah positif. Hal ini menunjukkan bahwa peran pemerintah dalam mengatur perusahaan kurang mampu meningkatkan keinginan manajemen untuk mengungkapkan laporan keuangan secara lebih luas. Hal ini dikarenakan regulasi pemerintah hanya bersifat kebijakan mendasar dalam akuntansi dan tidak mengatur pengungkapan.

Kesimpulan
Dari hasil penelitian sebagaimana dibahas sebelumnya maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Corporate governance GCG berpengaruh terhadap indeks pengungkapan dengan arah positif. Semakin naik penerapan GCG pada perusahaan akan meningkatkan luas item pengungkapan.
2. Struktur kepemilikan tidak berpengaruh signifikan terhadap indeks pengungkapan..
3. Komisaris independen tidak berpengaruh signifikan terhadap indeks pengungkapan..
4. Kualitas audit berpengaruh terhadap indeks pengungkapan dengan arah positif. Semakin berkualita auditor pengaudit perusahaan, akan meningkatkan luas item pengungkapan.
5. Ukuran perusahaan tidak berpengaruh signifikan terhadap indeks pengungkapan..
6. Profitabilitas berpengaruh terhadap indeks pengungkapan dengan arah positif. Semakin besar profitabilitas perusahaan, akan meningkatkan luas item pengungkapan.
7. Regulasi pemerintah tidak berpengaruh signifikan terhadap indeks pengungkapan.

Saran
Saran yang dapat diberikan sehubungan dengan hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah :
1. Dengan mendasarkan pada GCG, dalam beberapa hal, penerapan mekanisme good corporate governance merupakan faktor penentu dari kinerja perusahaan. Untuk itu, pertimbangan untuk dapat memberikan stimuli terhadap nilai penerapan GCG harus menjadi keinginan mendasar dari perusahaan.
2. Investor, sebagai salah salah pihak yang menentukan harga pasar saham dari perusahaan, harus mampu membaca perubahan kinerja peusahaan. Dalam hal ini pertimbangan untuk melihat GCG perlu untuk terus dipantau.

Keterbatasan
Penelitian ini menggunakan data sekunder dengan melihat nilai indeks Corporate Governance sehingga tidak diketahui secara detail tinggi rendahnyanilai indeks pada setiap kriteria penilaian indeks Corporate Governance.

DAFTAR PUSTAKA
Anggraini, R.R. “Pengungkapan Informasi dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi dalam Laporan Keuangan Tahunan (Study Empiris pada Perusahaan-Perusahan yang terdaftar Bursa Efek Jakarta)”. Simposium Nasional Akuntansi IX. Padang.
Bachtaruddin, T. 2003. Struktur Teori Akuntansi Keuangan. Diambil dari http://www.zahiraccounting.com/id/modules/zahirtutorial/item.php?itemid =10.
Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI). 2002. “Tata Kelola Perusahaan (Corporate Governance). The Essence of Corporate Governance: Konsep dan Implementasi Perusahaan Publik dan Korporasi Indonesia”. Jakarta: Yayasan Pendidikan Pasar Modal Indonesia dan Sinergy Communication.
Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI). 2002. “Tata KelolaPerusahaan (Corporate Governance). Jilid II “Peranan Dewan Komisaris dan Komite Audit dalam Melaksanakan Corporate Governance (Tata Kelola Perusahaan)”. Diambil dari http://www.cic-fcgi .org /news /files /FCGI_Booklet_II.pdf.
Khomsiyah. 2003. “Hubungan Corporate Governance dan Pengungkapan Informasi: Pengujian Secara Simultan”. Simposium Nasional Akuntansi VI. Surabaya.
Kusumawati, D.N. “Profitability and Corporate Governance Disclosure: An Indonesian Study”. Simposium Nasional Akuntansi IX. Padang.
Maksum, Azhar. Tinjauan Atas Good Corporate Governance di Indonesia. Diambil dari http://www.usu.ac.id/id/files/pidato/ppgb/2005/ppgb_2005_ azhar_maksum.pdf.
Santoso, Singgih. 1999. SPSS Mengolah Data Statistik secara Profesional Versi
7.5. Jakarta: Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia.
Suprayitno, G. 2005. Internalisasi Good Corporate Governance dalam Proses Bisnis. Jakarta: IICG.
Surya, Indra dan Ivan Yustiavanda. 2006. Penerapan Good Corporate Governance: Mengesampingkan Hak-Hak Istimewa Demi Kelangsungan Usaha, Jakarta: Prenada Media Group.
Suwardjono. 2005. Teori Akuntansi: Perekayasaan Pelaporan Keuangan, Yogyakarta: BPFE.
Theresia, D. “Hubungan Antara Good Corporate Governance dan Struktur Kepemilikan dengan Kinerja Keuangan (Studi Kasus pada Perusahaan yang Listing di Bursa Efek Jakarta)”. Kumpulan Artikel SNA VIII Solo. September. hal. 238-247.
Tjager, Nyoman, dkk.. 2003. Corporate Governance: Tantangan dan Kesempatan bagi Komunitas Bisnis Indonesia. Jakarta: Prenhallindo. http://www.stekpi.ac.id/skin/download3/Bab1_2.pdf,http://id.wikipedia.org/wiki/Aturan_Etika_Kompartemen_Akuntan_Publik

Lampiran:

Daftar emiten berdasarkan survey IICG tahun 2004 s/d 2008

2004 Bank CG
1 BBCA 90,46
2 BUNI 89,05
3 BNGA 88,55
4 KLBF 88,42
5 ASII 87,95
6 LPBN 87,43
7 BBNI 87,90
8 UNVR 86,93
9 BMTR 85,31
10 DNKS 85,17

2005
1 ASII 81,20
2 UNVR 76,86
3 ASGR 76,76
4 MEDC 74,86
5 BNGA 74,16
6 KLBF 72,84
7 DNKS 72,46
8 BABP 70,70
9 BFIN 68,60
10 BMTR 68,56



2006
1 ASII 85,87
2 BBCA 85,14
3 BNGA 84,23
4 DNKS 83,72
5 BNLI 83,33
6 BFIN 82,55
7 AALI 82,31
8 BABP 81,29
9 ASGR 80,52
10 KLBF 80,24


2007
1 ASII 85,87
2 BBCA 85,14
3 BNGA 84,23
4 DNKS 83,72
5 BNLI 83,33
6 BFIN 82,56
7 AALI 82,31
8 BABP 81,29
9 ASGR 80,52
10 K;LBF 80,24


2008
1 BNGA 89,27
2 MEDC 87,40
3 BMRI 83,66
4 ASII 83,01
5 ANTM 81,92
6 TLKM 81,30
7 BBNI 79,39
8 KLBF 78,70
9 ASGR 78,33
10 APEX 77,58
Descriptives




Frequency Table






Regression